Heboh Fenomena Buzzer Politik Sebar Hoaks hingga Provokasi, Ternyata Segini Bayarannya!
08 Oktober 2019 by Titis HaryoPenelusuran fenomena buzzer politik Indonesia dengan bayaran fantastis
Buzzer politik tengah menjadi sorotan usai munculnya konflik di daerah sepert Papua dan Jakarta. Mereka dinilai turut andil dalam banyaknya hoaks dan proprovokasi yang disebar lewat media sosial.
Bahkan, penculikan yang dialami oleh relawan Joko Widodo (Jokowi) bernama Ninoy Karundeng juga diduga akibat riuhnya aktivitas buzzer di Indonesia.
Namun, apakah benar buzzer ini kini bisa disebut pekerjaan dan menghasilkan uang? Berikut penelusurannya.
Fenomena pasukan siber di Indonesia
Buzzer menjadi sorotan setalah pemerintah menemukan adanya aktivitas provokasi dan penyebaran berita hoaks saat konflik di Papua Barat.
Dikutip dari Kompas.com, Jum' at (4/9/2019), Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menilai buzzer sebagai kelompok yang memiliki motif ekonomi dan ideologis saat menyampaikan informasi.
Baca Juga: Gelar Syukuran Saat Bupati Lampung Utara Tertangkap KPK, Warga: Hati Kami Lega!
“Buzzer biasanya lebih ke kelompok orang yang tidak jelas siapa identitasnya, lalu kemudian biasanya memiliki motif ideologis atau ekonomi di belakang (tindakannya),”
Aktivitas meresahkan para buzzer pun semakin nampak nyata setelah Facebook menutup 443 akun, 200 fanpage, dan 76 grup Facebook yang menunjukkan ‘perilaku tidak autentik yang terkoordinasi’.
Informasi yang disebar pun menurut Facebook berisikan informasi yang tidak benar, salah satunya terkait konflik Papua Barat yang memanas beberapa waktu lalu.
Bahkan yang terbaru, penculikan yang dialami oleh Ninoy Karundeng diduga akibat adanya penyebaran informasi yang tidak benar oleh para buzzer politik.
Baca Juga: Pengakuan Ninoy Karundeng Saat Dianiaya dan Diculik: Saya Mau Dieksekusi ala ISIS
Awal mula merebaknya buzzer politik
Penggunaan buzzer dalam dunia politik Indonesia sebenarnya bukanlah barang baru. Dilansir dari CNNIndonesia.com, pengamat media sosial bernama Pratama Persahda menjelaskan aktivitas buzzer sudah mulai terlihat di tahun 2009.
Pada wakti itu, tujuan buzzer pun hanya sekedar sebagai strategi marketing lewat media sosial Twitter. Namun, fungsi buzzer mulai berubah di tahun 2012 saat Pilgub DKI Jakarta dilakukan.
Pasangan Jokowi-Ahok saat itu maju sebagai kandidat dan menggunakan jasa buzzer untuk menguatkan namanya di publik dengan mengangkat berbagai isu politik dan wacana publik.
Baca Juga: Tak Sengaja Sebut Pengungsi Gempa Maluku Bebani Negara, Wiranto: Saya Minta Maaf
“Buzzer di tanah air mulai populer dalam Pilkada Jakarta tahun 2012. Saat itu, pasangan Jokowi ahok berhasil menang dengan mengerahkan ‘pasukan medos’ bernama Jasmev,”
Ternyata cara ini cukup berhasil dalam mendapatkan perhatian publik dan berbagai kalangan masyarakat lewat dunia maya.
Jasa buzzer politik pun semakin ramai diminati pada Pilpres 2014 hingga 2019 dan selalu menjadi bagian dari kampanye setiap pasang calon.
“Twitter masuk (di Indonesia) tahun 2009 baru mulai heboh buzzer. Kemudian 2009 Pilpres, tapi belum terlalu banyak. (Tahun) 2012 dan 2014 (baru) maksimal, kemudian ada di setiap pemilu,” jelas Persahda.
Baca Juga: Anggaran TGUPP Melonjak Jadi Rp 26,5 Miliar, DPRD DKI: Akibat Anies Bekerja Sendirian
Bayaran gila buzzer, dari 1 juta hingga 50 juta
Semakin banyaknya aktivitas buzzer di Indonesia ternyata menjadi lahan bisnis yang tak bisa dianggap remeh.
Dikutip dari Kompas.com, dalam laporan dua ilmuwan asal Universitas Oxford yang bertajuk The Global Disinformation Order: 2019 Global Inventory of Orgainsed Social Media Manipulation menunjukkan adanya bayaran yang diterima oleh buzzer politik di Indonesia.
Penelitian yang dilakukan oleh Samantha Bradshaw dan Philih Howard itu juga mendapati aktivitas buzzer yang dilakukan lewat 4 platform media sosial seperti Twitter, Facebook, Instagram hinigga WhatsApp.
Dalam laporan itu lantas disebutkan jika satu buzzer bisa mendapatkan bayaran paling sedikit Rp 1 juta hingga Rp 50 juta.
Adanya bayaran bagi para buzzer juga dikuatkan oleh temuan Facebook usai menutup sejumlah akun anonim yang menyebarkan informasi hoaks.
Dari hasil tersebut ditemukan adanya aliran dana sebesar 4,2 miliar yang diduga digunakan oleh para buzzer untuk memancing opini publik terkait konflik di Papua.
Kemunculan buzzer politik di Indonesia kini sudah bisa dibilang sebagai fenomena yang meresahkan. Hal ini tidak lepas dari semakin mudahnya muncul informasi palsu yang disebar di publik sehingga membiaskan kebenaran.
Pun aktivitas ini ternyata sudah menjadi sebuah roda penghasil uang yang menggiurkan bagi para pelakunya.
Semoga pemerintah melakukan langkah yang tepat untuk mengatasi masalah buzzer ‘nakal’ agar kedepan Indonesia bisa bebas dari berita hoaks yang bisa memunculkan banyak masalah.
Masyarkat juga diharapkan selalu melakukan double check pada informasi yang diterima dari media sosial.