Kualitas Udara Jakarta Disebut Terpuruk, Bagaimana Tanggapan Pemerintah?

Polusi Jakarta
Polusi Jakarta | Keepo.me

Udara Jakarta disebut terburuk di dunia, ini tanggapan DLH DKI!

25 Juni lalu, angka kualitas udara Jakarta menjadi yang terburuk di dunia menurut situs Airvisual. Tiga hari kemudian, tepatnya pada tanggal 28 Juni 2019 posisi Jakarta berpindah ke peringkat dua. Angka Air Quality Index (AQI) Jakarta pun dikabarkan berada di tingkat Tidak Sehat hingga Sangat Tidak Sehat.

Angka polutan paling berbahaya yakni 2.5 PM di udara Jakarta juga sempat mencapai angka tertinggi 70.8 ug/m3. Jauh di atas angka baku mutu udara nasional yakni 65 ug/m3. Uniknya lagi, angka ini didapat justru pada saat H-1 Lebaran di mana seharusnya kualitas udara Jakarta meningkat akibat lengangnya jalanan dan sepinya Ibu Kota.

Hal ini kontradiktif dengan pernyataan Gubernur Anies Baswedan yang sempat menyampaikan bahwa kualitas udara Jakarta membaik di saat libur lebaran akibat minimnya kendaraan yang berseliweran. Nyatanya, polutan di Jakarta justru meninggi H-1 Lebaran.

Polusi Jakarta
Kualitas udara Jakarta bahayakan kesehatan | Keepo.me

Dampak dari kualitas udara Jakarta yang buruk pun bermacam-macam. Partikel polutan 2.5 PM terbukti menjadi oknum yang memperburuk kesehatan masyarakat Jakarta sekaligus menurunkan angka harapan hidup.

Menurut Greenpeace, lebih dari 7.000 warga Jakarta meninggal lebih cepat karena kualitas udara Jakarta yang mengandung banyak partikel polutan 2.5 PM. Selain itu, angka harapan hidup mereka juga berkurang sampai 2,3 tahun.

Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA) menjadi penyakit yang paling banyak diderita oleh masyarakat Jakarta di 16 area. Lagi-lagi, partikel 2.5 PM berpotensi besar menyebabkan ISPA dan gangguan pernapasan lainnya.

Baca Juga: Helikopter TNI AD Hilang Kontak di Pedalaman Papua, Bawa 12 Orang Prajurit

Kondisi udara Jakarta yang berbahaya bagi kesehatan warganya ini namun dibantah oleh Pemerintah Provinsi DKI yang justru menilai angka kualitas udara di Jakarta masih moderat atau sedang. Hal ini disampaikan oleh Plt Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Andono Warih.

“Secara umum masih dalam, tahun ini moderat. Di tengah-tengah, ada satu saat unhealthy. Kemudian dibandingkan benchmark di manapun dibandingkan negara lain, secara kasat mata kita lebih bagus dari kota lain, atau kota yang lagi tumbuh pesat. Kita secara kasat mata saja lebih bagus. Jakarta ini kan geografi di kota pantai, selalu ada angin laut,” ucap Andono mengklarifikasi.

Selain itu, menurut Andono hasil survei situs AirVisual juga tak bisa menjadi patokan lantaran alat ukurnya hanya berada di satu titik yakni di Kwitang, Pasar Senen.

Baca Juga: Takut Diracun Saat Demo MK, Mantan Penasihat KPK: Jangan Beli Makanan di Pedagang

Hal berbeda disampaikan oleh Direktur Eksekutif Komisi Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) Ahmad Safrudin atau Puput. Menurutnya, standar pengukuran angka pencemaran lingkungan oleh Pemerintah dan Airvisual berbeda.

Jika Airvisual menggunakan parameter partikel berukuran 2.5 PM atau partikel terkecil yang sangat halus, pemerintah masih menggunakan parameter debu berukuran 10 PM.

Perbedaan standar ukuran ini menjadi masalah lantaran partikel 10 PM masih tergolong kasar dan bahayanya tak seberapa bagi kesehatan. Berbeda dengan partikel 2.5 PM yang dianggap sangat berbahaya karena dapat menembus sekat paru dan masuk ke aliran darah.

Selain itu, pemerintah juga menetapkan standar yang longgar bagi polusi udara dibandingkan WHO yang menjadi standar internasional. Udara baru disebut baik oleh WHO jika partikel debu 10 PM berada di kadar 20 ug/m3. Sedangkan pemerintah menetapkan standar baik yakni hingga 51 ug/m3.

Perbedaan standar inilah yang lantas membuat dua perspektif berbeda. Di mana pemerintah menyatakan kualitas udara Jakarta berada di level sedang dan lebih baik dari banyak kota besar lain, namun di sisi lain masyarakat menilai kualitas udara Jakarta sangat berbahaya karena mengikuti standar internasional WHO.

Artikel Lainnya

Pada akhirnya, manusia pula yang bertanggung jawab dan merasakan akibat dari kualitas udara yang tercemar. Emisi karbon kita yang tinggi akibat kehidupan, serta industri yang terus memproduksi limbah berupa polusi udara menjadi tugas kita bersama untuk membuatnya lebih baik.

Tags :