Dilema Mudik di Tengah Wabah: Dulu Mengalirkan Rezeki, Kini Pembawa Petaka?

Mudik
Mudik | www.keepo.me

Semoga tidak ada aliran virus dari kota ke desa

Mudik bukan sekadar aktivitas pulang ke kampung halaman yang dijalankan sebagai tradisi tahunan menjelang liburan Lebaran atau hari-hari besar lainnya. Mudik telah dipahami sebagai peristiwa kebudayaan, yang notabene menyentuh esensi ekonomi, melibatkan pemerintah pusat dan daerah, BUMN, perusahaan swasta, perbankan, hingga ke elemen-elemen terkecil dalam masyarakat.

Rangkaian peristiwa mudik hingga balik ke kota menjadi salah satu indikator kemajuan perekonomian nasional. Pasalnya, masa-masa mudik adalah momentum dari puncak perputaran uang terbesar di Indonesia.

Tradisi Mudik Mengalirkan Rezeki ke Desa-desa

Di tahun 2019, Bank Indonesia menganggarkan uang tunai dengan total sebesar lebih dari 217 triliun rupiah. Kebijakan tersebut diterapkan sebagai antisipasi meningkatnya permintaan menjelang Lebaran. Ada peningkatan sebesar 13,5 persen dari tahun sebelumnya (Media Indonesia, 20/6/2019).

Mudik
Arus mudik Lebaran | www.wartaekonomi.co.id

Meskipun sifatnya hanya sementara alias tidak berkelanjutan, pertumbuhan ekonomi terjadi cukup signifikan khususnya di desa-desa tempat arus mudik mengalir. Triliunan rupiah mengalir ke berbagai daerah dari kota-kota besar, berputar ke berbagai model bisnis mulai dari hotel, tempat wisata, pusat perbelanjaan, pasar tradisional, dan lain-lain.

Kebanyakan orang Indonesia rela mengeluarkan sebagian besar pendapatannya yang dihasilkan selama setahun hanya untuk mudik, pulang ke kampung halaman. Fenomena yang mahfum dipahami sebagai ajang eksistensi antara ingin menunjukkan kesuksesan merantau di kota besar, berbagi rezeki bersama sanak saudara dan tetangga, atau memang kerinduan yang harus segera dibayar mumpung ada waktu dan uang.

Situasi Perekonomian Indonesia di Masa Pandemi Covid-19

Jauh-jauh hari sebelum situasi akibat pandemi Covid-19 semakin mencekam, berbagai prediksi ekonomi dilontarkan para pakar. Dipastikan juga ekonomi Indonesia bakal surut dihantam virus dengan kondisi terburuk minus hingga 0,4 persen (Detik, 2/4/2020).

Baca Juga: Kesulitan Ekonomi di Tengah Wabah Corona, Pemilik Kontrakan Akhirnya Menggratiskan Biaya!

Mudik
Mall tutup akibat Corona | katadata.co.id

Imbas dari pandemi ini sudah dirasakan sejak beberapa minggu lalu. Kantor-kantor sudah ditutup dan menetapkan kebijakan work from home. Sebagian lagi menetapkan kebijakan shift dengan prosedur yang ketat. Bagaimanapun caranya, rantai penyebaran virus harus diputus melalui berbagai kebijakan tersebut.

Sektor-sektor informal yang paling merasakan dampaknya. Para perantau yang selama ini mengandalkan pendapatannya terancam tidak punya kepastian jaminan hidup di kota-kota besar. Tidak ada jalan lain kecuali pulang ke kampung halaman masing-masing. Tidak heran jika sebagian orang yang memutuskan mudik beralasan karena tidak ada pekerjaan dan penghasilan lagi, bukan akibat khawatir terpapar virus.

Risiko Penyebaran Virus Akibat Mudik

Mudik pada saat virus sedang ganas-ganasnya jelas sangat mengkhawatirkan. Padahal, desa-desa yang selama virus mewabah justru menjadi tempat yang aman. Sayangnya, nasi sudah terlanjur menjadi bubur dengan sejumlah kasus penderita positif di beberapa wilayah tepat setelah ada yang mudik.

Baca Juga: Marak Covid-19, Perantau Asal Wonogiri Pilih Pulang Kampung

Mudik
Penyemprotan ke pemudik | www.kompas.com

Sempat muncul wacana larangan mudik demi mencegah penyebaran virus yang lebih parah. Kenyataannya, pemerintah pusat tidak melarang mudik namun menghimbau supaya masyarakat tidak pulang ke kampung halaman masing-masing. Ketidaktegasan pemerintah ini menyulut berbagai kritikan tajam. Sikap pemerintah yang labil ini justru akan semakin menambah pekerjaan banyak pihak karena titik konsentrasi yang semakin menyebar.

Rencananya, pemerintah pusat akan menggencarkan kampanye secara besar-besaran untuk tidak mudik agar bisa menahan laju penyebaran virus. Kampanye ini melibatkan tokoh masyarakat, tokoh agama, dan figur publik. Usulan supaya MUI merilis fatwa haram secara resmi bagi pemudik di masa pandemi juga terus didesakkan.

Baca Juga: Polemik Mudik Saat Bencana Wabah Corona Melanda, MUI: Haram!

Mudik
Jokowi | nasional.kompas.com

Presiden Jokowi mengusulkan mengganti jadwal mudik pada hari libur nasional setelah Hari Raya Idul Fitri. Pemerintah akan menyediakan fasilitas dan infrastruktur khusus mudik sebagaimana dilaksanakan di kala mudik Lebaran.

Pemerintah daerah bisa menggratiskan tempat-tempat wisata milik mereka agar ramai dikunjungi masyarakat. Sementara bagi mereka yang tetap mudik, akan ditetapkan protokoler demi mencegah penyebaran virus. Beberapa di antaranya adalah pendataan pemudik dan karantina selama 14 hari. Akses transportasi umum pun dikabarkan akan dibatasi hingga 50 persen.

Dilema Mudik bagi Perantau di Masa Corona

Mudik ataupun tak mudik di masa sekarang bagi sebagian masyarakat nyaris tidak ada daya tawarnya lagi. Tidak ada kejelasan sampai kapan bencana ini berakhir. Mau terus bertahan di kota? Ancaman tanpa ada sumber nafkah silih berganti membayangi bersama dengan risiko terjangkit virus. Kesannya, pilihannya cuma ada dua, mati kelaparan atau terkena virus.

Baca Juga: Terungkap! BNPB Sebut Kemenkes Tertutup Soal Data Corona dan Tak Sesuai Dengan Pemda

Mudik
Ilustrasi himbauan tidak mudik | twitter.com

Pulang ke desa bukanlah jaminan bakal lolos dari risiko virus, bahkan semakin tinggi karena ada kemungkinan menjadi carrier atau tertular pada saat melakukan perjalanan mudik.

Namun, bagi mereka, pulang bertemu dan berkumpul lagi bersama keluarga adalah pilihan yang lebih baik daripada teriolasi tanpa sanak saudara dan masa depan. Mengingatkan kita pada filosofi khas masyarakat kita; mangan ra mangan asal kumpul, makan ataupun tidak yang penting berkumpul. Sakit nggak sakit ya nggak papa asalkan tetap kumpul.

Pendapat masyarakat pun terpecah belah akibat kebijakan pemerintah pusat terkait mudik yang masih samar. Sebagian menentang dan bahkan menghujat mereka yang memaksa tetap mudik, yang lain mempertanyakan nasib mereka yang luntang-lantung di kota rantau akibat pandemi.

Ngapin sih ah mudik, tolong kasih ketegasan @kemenhub151 kasian masyarakat di kampung jika sampe ketularan Corona huhuhu #mudikmembawapetaka - @RobetBoby80

Rakyat Kecil tdk percaya layanan yg disediakan pemerintah, krn sepanjang umur sll mrs terdiskriminasi, baik di puskesmas/RS/klinik & kantor kekurahan/balaidesa. Tp mrk jg sadar diri, kalo gak pny uang ya hrs siap direndahkan. #COVID19 - @hadiprayitno82

"Gak pny uang ya hrs siap direndahkan." So true Berulangkali mendengar hal ini langsung dr yg merasakan. - @ficusreligiosa

Mungkin bagi mereka yang terkatung-katung akibat imbas pandemi ini, tagar #dirumahaja hanya milik mereka yang (setidaknya) telah terjamun sandang, pangan, dan papan secara mapan.

Kepercayaan pada pemerintah pusat juga disinyalir semakin menurut. Sejak awal, penanganan kasus pandemi ini memang terkesan tidak serius. Kebiasaan para pejabat negara yang seenaknya melontarkan komentar meremehkan ancaman virus akhirnya berbuah malapetaka dengan merebaknya kasus positif di mana-mana.

#TundaMudikCekalCorona

Hari-hari belakangan, tagar #TundaMudikCekalCorona sedang populer di Twitter. Banyak yang mengkhawatirkan dampak lebih parah akibat arus mudik di berbagai daerah.

Saya tunda mudik bukan karena gak rindu, bukan pula hal lain. Tapi agar teu aya korona diantara kita. Saya sayang kamu, keluarga dan sayang semua handai taulan dikampung. #TundaMudikCekalCorona - @CiungKana

Sobat..#TundaMudikCekalCorona Jangan sampai para Petani & Nelayan kita juga ikut tertular Virus Corona..Saat ini, merekalah tulang punggung bangsa yang rela berpanas-panasan & kehujanan siang & malam, demi mencari kebutuhan pangan kita.. So Guys Tunda mudik lebih baik. - @7int4Putih

Rinduku terhalang Corona Tapi tak apa.... Ayo tunda pulkam nya dan putus rantai penyebaran covid-19 #TundaMudikCekalCorona - @AgustineEmy

Oke, dari dulu yang namanya mudik memang identik dengan pertaruhan nyawa. Para pemudik rela berjubelan di alat-alat transportasi umum, angka kematian akibat kecelakaan lalu lintas, dan lain-lain.

Namun, sekarang situasinya sangat berbeda. Siapa sih yang akan menjamin kelangsungan hidup mereka yang terpaksa tidak mudik akibat ancaman penularan virus?

Bahkan slogan TERUSLAH BEKERJA JANGAN BERHARAP PADA NEGARA sekarang sudah tidak relevan karena tidak ada lagi yang dikerjakan demi mengais nafkah.

Baca Juga: Kontroversi Kapolsek Kembangan Gelar Nikahan Megah Saat Corona, Wakapolri Kepergok Hadir!

Mudik
Resepsi polisi saat Corona | keepo.me

Ada banyak orang Indonesia yang dikenal gigih (atau mungkin bebal?). Himbauan ataupun larang mudik selalu terbuka celahnya untuk dapat diterabas. Pie carane kudu iso (Bagaimanapun caranya harus bisa). Lihat saja contohnya ke suporter tim sepakbola; tak ada duit atau kendaraan pun masih bisa berangkat bareng, itu pun masih diselingi dengan tawuran.

Sulit mengharapkan kedisplinan masyarakat kita, apalagi dalam kondisi tidak normal seperti sekarang ini. Bukan hanya masyarakat biasa, mengharapkan panutan yang tepat pada para pejabat pun rasanya mustahil. Ingat kasus pesta pernikahan pejabat kepolisian padahal sudah ada larangan terkait pandemi?

Semisal ada protokoler bagi para pemudik untuk pendataan dan isolasi mandiri selama 14 hari, apakah bakal berhasil diterapkan secara merata? Sekadar contoh; istri seorang pejabat saja malah ngamuk-ngamuk nggak jelas padahal cuma didata aparat setempat sebagai pemudik.

Baca Juga: Viral Istri Pejabat di Solo Ngamuk Saat Dijadikan ODP: Ini Lebih Rese dari Jakarta!

Mudik
Poster jangan mudik | ekonomi.bisnis.com

Bagaimana dengan mereka yang mudik dengan kendaraan pribadi? Barangkali ada afirmasi, tingkat keamanan pemudik dengan kendaraan pribadi lebih "aman" karena berbeda dengan tranportasi umum. Apa sih jaminannya? Lagi-lagi bias kelas. Hanya orang "mampu" yang bisa mudik.

Pengamat kebijakan publik Achmad Nur Hidayat mengatakan, kebijakan mudik ini sangat dilematis. Bagi kalangan atas yang secara ekonomi mapan, akan memilih tidak mudik karena mereka melihat mudik memiliki risiko tinggi (Warta Ekonomi, 5/4/2020).

Menurutnya, kebijakan pemerintah yang sekadar menghimbau dan tidak menerbitkan larangan mudik justru sangat membayakan. Potensi penyebaran virus akan semakin meluas serta mengancam peningkatan kematian di desa-desa dibandingkan risiko warga di kota. Padahal, kita tahu sendiri wilayah sebaran pemudik di Indonesia sangat luas, dan tidak semestinya meremehkan hal itu.

Artikel Lainnya

Ada petaka yang bakal membayangi selain ancaman virus; ketegangan yang menjalar di mana-mana, ketidakpastian hidup, disparitas sosial, dll. Masyarakat sebenarnya ingin percaya pemerintah. Dengan kepercayaan itu, setidaknya situasi jadi lebih terkendali, butuh ketegasan, bukan sekadar himbauan dan serangkaian aturan yang kurang dan bahkan tidak transparan regulasinya.

Dalam situasi seperti ini, kalau kepercayaan tersebut sudah berkurang, mau percaya siapa lagi?

Tags :