Dari “Local Lockdown” Hingga Darurat Sipil, Solusi atau Masalah Baru?

Lockdown
Lockdown | www.keepo.me

Terlalu sibuk “local lockdown” dan darurat sipil hingga lupa cuci tangan dan jaga jarak

Pagi tadi, seorang kawan mengabarkan tentang sebagian warga di kampungnya yang mulai mengeluhkan truk pengangkut sampah yang sudah beberapa hari ini tidak masuk ke gang dan menjalankan tugasnya. Ia juga bercerita soal tetangga depannya yang kini kesulitan mau keluar berbelanja. Padahal, si tetangga ini membuka warung kebutuhan harian untuk warga sekitar.

“Pie nek arep golek gas, mas. Kudu nggolek ning jobo, kui ae durung mesti ono.” (Gimana mau cari tabung gas, mas. Harus nyari di luar, itu aja belum tentu ada), keluh sang tetangga.

Suasana di kampungnya pun sudah lengang, yang biasanya dihidupkan aktivitas dan lalu lalang para penghuninya. Masjid dan mushola memang masih mengumandangkan azan 5 kali setiap hari, tapi tidak ada lagi jamaah yang datang. Ibadah salat Jumat pun sudah ditiadakan.

Apa yang sedang dikabarkan kawan saya itu barangkali juga dialami sejumlah wilayah lainnya. Media-media sosial kini sedang diramaikan foto-foto sejumlah kampung yang ditutup warganya secara mandiri dengan portal, spanduk, dan dijaga secara bergiliran. Huruf-huruf besar membentuk tulisan LOCKDOWN disertai larangan atau himbauan, dan kalimat-kalimat bernada humor yang entah bagi saya tidak menemukan di mana kelucuannya.

Baca Juga: Minta Segera Lockdown, Fadli Zon Bikin Surat Terbuka Buat Jokowi Lewat Twitter!

Salah kaprah istilah "Lockdown", kenapa bisa terjadi?

Lockdown
Lockdown | twitter.com

Apa benar wilayah-wilayah yang dimaksud itu menerapkan LOCKDOWN? Kenapa kok masih ada yang bisa keluar masuk keluyuran dan bahkan nongkrong-nongkrong di depan portal buatan warga. Tujuannya tentu saja berjaga-jaga supaya tidak ada orang dari luar kampung yang masuk dan dikhawatirkan berpotensi pembawa virus. Ironisnya, di saat himbauan untuk saling berjaga jarak dan membatasi kontak fisik sedang digalakkan, kenyataan berkata lain.

Kemarin, sewaktu saya melintas di sepanjang jalur yang gang di sebelah kanan kirinya ditutup warga, rata-rata justru berkerumun sambil duduk santai bercengkerama. Tidak jauh berbeda dari suasana angkringan atau Warmindo, hanya pindah lokasi. Tanda lain yang membedakan adalah disediakannya galon untuk cuci tangan dan hand sanitizer.

Tanpa mengurangi rasa hormat pada solidaritas warga dan kesigapan mereka, kenapa hal yang paling substantif dalam gerakan massal pencegahan penularan virus Corona ini justru terkesan terlupakan (atau jangan-jangan tidak tahu). Kita dihimbau untuk selalu menjaga jarak dan kontak fisik dengan orang sekitar, social distancing, dan bahkan sudah mengarah ke physical distancing. Justru yang kasat mata adalah suasana mencekam seolah-olah virus Corona adalah musuh yang berbentuk makhluk yang dapat dicegat dan digebuki jika melanggar teritorial.

Bayangkan saja, orang-orang saling berkumpul berjaga-jaga supaya tidak ada yang masuk. Jarak mereka rata-rata kurang dari semeter dan tidak ada satu pun yang mengenakan masker. Alat seperti termometer untuk mengecek setiap orang yang masuk pun tidak ada. Alih-alih diterapkan sebagai tindakan preventif untuk kesehatan, yang sedang berlangsung justru adalah bahasa kekuasaan, menegaskan batas antara warga ‘asli’ dan ‘luar’.

Baca Juga: Potret Lockdown India Kacau Balau. Ancaman Kelaparan, Warga Terlantar di Jalanan!

Apakah pemerintah kurang sosialisasi?

Lockdown
Posko pencegahan Covid-19 | twitter.com

Menko Polhukam Mahfud MD kabarnya sedang menimbang-nimbang untuk merancang Peraturan Pemerintah (PP) mengenai Karantina Kewilayahan. Menurutnya, konsep ini berbeda dari LOCKDOWN (Tirto, 29 Maret 2020). Namun, istilah LOCKDOWN ternyata sudah diterjemahkan sebagai Karantina Wilayah.

Kemarin, Presiden Jokowi mengumumkan penerapan pembatasan sosial skala besar dengan menjalankan kebijakan Darurat Sipil. (Detik, 30 Maret 2020). Apa maksudnya?

Lebih jelasnya bisa lihat acuannya dari UU No 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan:

Karantina Wilayah ditetapkan untuk suatu wilayah yang diduga terinfeksi penyakit dengan pembatasan seluruh anggota masyarakatnya di suatu wilayah. Warga yang tinggal di tempat tersebut tidak boleh keluar masuk wilayah karantina. Wilayah tersebut dijaga oleh aparat dan petugas kesehatan yang berarti melibatkan pemerintah daerah. Untuk kebutuhan hidup warga yang berada dalam wilayah tersebut menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat.

Sedangkan Pembatasan Sosial Berskala Besar diterapkan untuk wilayah yang juga diduga terinfeksi penyakit dengan pembatasan kegiatan paling sedikit meliburkan sekolah, tempat kerja, dan pembatasan kegiatan di tempat umum. Untuk penjagaan dan pemenuhan kebutuhannya warga dalam kondisi ini tidak diatur.

Baca Juga: Kota Tegal ‘Local Lockdown’ Hadapi Corona, Walkot Tutup Jalan Pakai Beton!

Darurat Sipil, blunder Pemerintah?

Lockdown
Jokowi | img.inews.id

Pengumuman yang disampaikan presiden perihal Darurat Sipil itu justru dinilai blunder pemerintah. Pasalnya, untuk praktik pembatasan sosial berskala besar sebenarnya sudah diterapkan secara informal oleh berbagai wilayah. Contohnya ya daerah-daerah yang melakukan karantina alias “Local Lockdown”. Kebijakan meliburkan sekolah, berbagai kegiatan publik, hingga anjuran work from home pun sudah diterapkan sebagian besar masyarakat. Aparat kepolisian juga semakin aktif menghimbau dan membubarkan kerumunan warga demi mencegah dampak penularan virus.

Menurut Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia dan Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia, Hermawan Saputra, pemerintah telah melakukan analisis dan mengeluarkan pernyataan gegabah (Detik, 30 Maret 2020). Alasannya, acuannya adalah produk hukum di era Demokrasi Terpimpin Presiden Soekarno yang menyebutkan hak pemerintah untuk membatasi individu dan aktivitas, termasuk penggeledahan, penyadapan, dan sebagainya. Bukan lagi tentang pengendalian penyakit.

Kekhawatiran yang sangat beralasan karena kebijakan Darurat Sipil berpotensi semakin menguatkan posisi otoriter pemerintah dengan dalih pengendalian penyakit menular. Ditambah lagi kekisruhan wacana yang bias perihal penanggulangan penyebaran virus antara dukungan ke satu sosok dan kecaman ke sosok lain yang disponsori oleh buzzerrp, semakin memperkeruh situasi.

Sisi positifnya bagi saya pribadi, bersyukur karena dari dulu tidak pernah tertarik pada dukungan politik praktis ke kubu sini atau sana. Seringkali saya ditanyai, mendukung 1 atau 2, jawaban saya selalu sama; pilih nomor 3, Persatuan Indonesia.

Baca Juga: Covid-19 Semakin Marak, Ketua BNPB: Tidak Akan Ada Lockdown

“Local Lockdown”: solusi atau hambatan?

Lockdown
Lockdown | twitter.com

Kegagalan sebagian masyarakat memahami social and physcial distancing berujung pada praktik “local lockdown” di mana-mana. Salah tulis lockdown menjadi lockdont, download, hingga luckdown di poster-poster warga adalah bukti semangat kearifan lokal menyikapi kegamangan pemerintah pusat.

Bukan salah mereka juga kalau aksi-aksi tersebut dianggap bentuk pembangkangan ke pemerintah pusat. Kita bisa berkaca dari contoh seperti waktu gempa bumi di Yogyakarta, yang ditindaklanjuti tindakan spontan solidaritas dan gotong royong warga saling bekerjasama menyebarkan bantuan dan menjaga wilayahnya masing-masing.

Baca Juga: Ribut Soal Penanganan Corona dengan Akun Digeeembok, Inilah Sosok Dokter Tirta yang Ngeyel Untuk Segera Lockdown

Masalahnya, apakah “Local Lockdown” ini akan benar-benar efektif?

Lockdown
Lockdown | twitter.com

Bagaimana kalau ada kasus warga yang berprofesi sebagai dokter diusir dari perumahan akibat sering pulang malam karena lembur di rumah sakit? Hal itu sangat mungkin terjadi. Berbagai penutupan wilayah secara mandiri pun harus diakui sebagai respons arus mudik yang berdatangan ke kampung-kampung.

Untuk jangka pendek, tindakan mengisolasi di berbagai wilayah itu mungkin bagus, jika diterapkan secara disiplin, dan jangan lupa, manusiawi. Portal-portal yang dibuat itu harusnya sebagai simbol pengingat dan penyadaran warga untuk senantiasa berhati-hati demi mencegah penyebaran pandemi yang meluas. Di sisi lain, life must go on..

Bagaimana dengan jangka panjangnya? Kita tak tahu kapan pandemi ini berakhir. Sampai kapan warga akan mengisolasi di kampungnya masing-masing dengan persediaan stok logistik yang tentu tidak bakal bertahan lama, apalagi bulan Ramadhan sudah di depan mata. Enak bagi mereka yang tetap bisa bekerja dari dalam rumah, bagaimana dengan mereka yang setiap hari harus keluar nafkah?

Baca Juga: Ngeyel Keluyuran Saat Lockdown Corona, Polisi India Pukuli Warga Pakai Balok Kayu!

Belajar dari imbas Lockdown

Lockdown
Lockdown India | www.nu.or.id

Dilansir dari BBC Indonesia (31 Maret 2020), kebijakan Lockdown di India telah berubah menjadi tragedi kemanusiaan. Beberapa hari lalu beredar video kekerasan aparat kepolisian India pada warga yang bandel karena masih berkeliaran di jalanan.

Sepintas memang nampak lucu, tapi di balik semua video yang viral itu, jutaan pekerja imigran melarikan diri dari kota-kota yang tutup dan kembali ke desa mereka. Seketika mereka menjadi pengungsi akibat penutupan wilayah yang diterapkan pekan lalu. Perdana Menteri India meminta maaf atas kegagalan skema lockdown yang diberlakukan. Sementara itu, kota sebesar New York justru mengalami peningkatan kasus yang terinfeksi. Gubernurnya merasa sangat menyesal karena telah memberlakukan lockdown.

Pemerintah jelas tidak akan gegabah mengambil keputusan karantina wilayah. Namun kebijakan Darurat Sipil juga menimbulkan kekhawatiran atas dampaknya.

Filosofi Ora Obah Ora Mamah dibenturkan pada kenyataan hari-hari ini

Lockdown
Pengungsi India setelah Lockdown | rri.co.id

Masyarakat Jawa memegang filosofi Ora Obah Ora Mamah yang berarti tidak bergerak (keluar bekerja) ya tidak makan. Begitu juga dengan kebanyakan manusia di dunia ini. Di Indonesia lebih miris lagi. Makan tidak makan, ya harus tetap keluar daripada di dalam rumah tidak mengerjakan apa-apa. Enak bagi mereka yang #dirumahaja sementara semua kebutuhannya sudah terpenuhi. Beruntung bagi mereka yang obah ora obah yo tetep mamah.

Hal yang dicemaskan sekarang ini adalah ketidakpastian mau sampai kapan larangan-larangan keluar masuk wilayah yang diterapkan secara mandiri itu berlaku. Sampai kapan abang-abang ojol harus bergerilya mencari-cari kesempatan keluar masuk wilayah yang ditutup dan berlindung dari tatapan kecurigaan warga setempat?

Artikel Lainnya

Daripada berdebat soal istilah dan praktiknya, lebih baik fokus pada substansinya, tetap di rumah aja, jaga jarak, jaga imun dan iman. Tidak ada jalan lain untuk mengatasi pandemi ini yaitu dari kesadaran kolektif seluruh masyarakat. Kesadaran individu harus terus ditingkatkan. Jangan sampai terlalu sibuk berdebat soal “local lockdown” dan darurat sipil malah lupa cuci tangan dan jaga jarak.

Tags :