Maraknya Pengambilan Paksa Jenazah Corona, Meninggal karena Corona jadi Aib buat Keluarga?

Maraknya pengambilan paksa jenazah corona
Maraknya pengambilan paksa jenazah corona | keepo.me

Pengambilan paksa jenazah corona menghiasi jagat pemberitaan dalam beberapa hari terakhir.

Beberapa hari belakangan jagat sosmed dihebohkan viralnya sekelompok warga yang mengambil paksa jenazah pasien corona di rumah sakit.

Ternyata kasus pengambilan paksa jenazah corona di rumah sakit terjadi nyaris berbarengan di beberapa kota dan tempat. Kebanyakan pihak keluarga tidak terima dengan status pasien yang dikeluarkan oleh rumah sakit. Mereka ingin memproses penguburan secara pribadi tanpa protokol jenazah covid-19 yang sudah ditetapkan pemerintah.

Terakhir, aksi pengambilan jenazah paksa pasien covid-19 terjadi di RS Mekar Sari Bekasi, Jawa Barat, Senin (8/6) siang lalu. Sebanyak 20-30 anggota keluarga mendatangi rumah sakit dan membawa jenazah yang merupakan seorang pria berusia 50 tahun. Mereka membawa jenazah menggunakan tempat tidur rumah sakit menuju kediaman asal di Desa Srimukti, Kecamatan Tambun Utara, Kabupaten Bekasi, seperti dikutip dari CNN Indonesia.

Makassar menjadi sorotan karena beberapa peristiwa pengambilan paksa jenazah corona terjadi di kota ini. Kejadin terbaru terjadi di RS Stella Maris Makassar pada Minggu (7/6) malam. Sekitar 100 orang mengambil jenazah seorang perempuan berusia 53 tahun di ruang isolasi.

Semula pasien dibawa ke RS Stella Maris pada pukul 98.47 Wita dengan keluhan sesak napas dan batuk yang sudah sepekan. Akhirnya pasien meninggal pada pukul 19.30 Wita sebelum hasil tes PCR keluar. Keesokan harinya pasien itu dinyatakan positif corona.

Sebelumnya pada Jumat (5/6), puluhan warga mendatangi RSUD Labuang Baji Makassar, menjemput paksa seorang jenazah PDP yang merupakan seorang pria berumur 49 tahun. Di tempat yang berbeda, pada Rabu (3/6) sore, tujuh orang anggota keluarga pasien covid membawa kabur jenaah dari Ruang Intensive Care Unit (ICU) RS Dadi Makassar. Jenazah itu sebelumnya merupakan seorang pria dengan status PDP.

Umumnya pihak rumah sakit tak berdaya untuk mencegah tindakan keluarga pasien yang mengambil jenazah secara paksa karena jumlah petugas keamanan tak sebanding dengan jumlah rombongan keluarga. Belum lagi dengan potensi kericuhan yang terjadi jika hal itu dihalangi. Sejatinya rumah sakit merupakan sebuah kawasan yang segala potensi kericuhan harus dihindari agar tidak mengganggu dan membuat panik pasien.

Pelaku pengambilan paksa jenazah pasien corona: ancaman hukuman pidana sampai diharuskan mengikuti rapid tes

Pelaku pengambilan paksa jenazah pasien corona
Pelaku pengambilan paksa jenazah pasien corona | news.okezone.com

Tindakan mengambil jenazah secara paksa memang problematik karena tidak hanya merugikan pihak rumah sakit, melainkan juga keluarga pasien. Tindakan itu berpotensi memunculkan klaster baru penyebaran virus corona.

Pasalnya pengambilan paksa jenazah melibatkan banyak orang dan dikhawatirkan terjadi penularan saat pengambil jenazah melakukan kontak langsung dengan jenazah yang positif covid-19. Dua jenazah yang dirawat RS Stella Maris dan RS Labuang Baji Makassar ternyata positif corona. Tak heran jika orang-orang yang mengambil paksa jenazah pasien covid-19 atau masih terduga, diharuskan melakukan rapid tes.

Dalam kasus pengambilan paksa jenazah pasien corona di Makassar, Polda Sulawesi Selatan mengamankan 33 orang terkait kasus pengambilan paksa jenazah pasien corona Covid-19. Setelah ditangkap, 33 orang itu langsung dilakukan pemeriksaan cepat atau rapid test corona. Hasilnya, lima di antaranya menunjukkan reaktif terpapar virus.

"Semua diperiksa rapid test dan hasilnya lima yang reaktif," tutur Kombes Ibrahim Tompo, Kabid Humas Polda Sulawesi Selatan.

Ibrahim menambahkan bila lima orang itu menjalani isolasi di sebuah hotel di kawasan Jalan Perintis, Makassar. Mereka yang diamankan merupakan warga yang terlibat pengambilan paksa jenazah Covid-19 di empat rumah sakit yakni RS Deli, RS Stellamaris, RS Bhayangkara Sulsel, dan RS Labuang Baji.

"Pasal yang diterapkan yaitu pasal 214, 335, 336, dan pasal 93 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2019. Ancaman hukuman sampai 7 tahun," kata Ibrahim, dikutip dari Liputan 6.com.

Baca juga: Ramai Warga Pasuruan Acungkan Parang Tolak Jenazah Corona, Walkot Sampai Cium Kening!

Kapolri Idham Azis bolehkan jenazah dimakamkan sesuai syariat agama. Ada syaratnya...

Kapolri Idham Azis
Kapolri Idham Azis | www.jpnn.com

Sejatinya Kapolri Jenderal Pol Idham Azis telah menerbitkan Surat Telegram bernomor ST/1618/VI/Ops.2/2020 tertanggal 5 Juni 2020. Surat itu merupakan jalan tengah untuk mengatasi maraknya pengambilan paksa jenazah pasien dalam pengawasan (PDP) Covid-19 oleh pihak keluarga.

Lewat surat itu, kepolisian mendorong pihak rumah sakit rujukan Covid-19 untuk segera melaksanakan tes swab terhadap pasien yang dirujuk. Kapolri juga meminta para Kasatgas, Kasubsatgas, Kaopsda atau Kapolda, dan Kaopsres untuk berkoordinasi dengan pihak rumah sakit rujukan Covid-19 sehingga dapat memastikan penyebab kematian pasien secara akurat.

"Jika jenazah yang dimaksud telah dipastikan positif Covid-19, maka proses pemakamannya harus dilakukan sesuai prosedur Covid 19,” ujar Komjen Pol Agus Andrianto, selaku Kepala Operasi Terpusat Kontijensi Aman Nusa II Penanganan Covid-19,

"Namun jika jenazah terbukti negatif Covid-19, proses pemakamannya dapat dilakukan sesuai dengan syariat atau ketentuan agama masing-masing.”

Semoga keluarnya surat edaran dari Kapolri bisa menjadi jalan tengah sehingga tak ada lagi kasus pengambilan paksa jenazah. Jika jenazah memang positif corona, pihak keluarga hendaknya mengikuti protokol pemakaman sesuai yang ditetapkan oleh pemerintah.

Respon netizen atas pengambilan paksa jenazah corona

Kejadian maraknya penjemputan paksa jenazah pasien corona tak lepas dari perhatian netizen. Terlebih peristiwa ini terjadi secara beruntun selama beberapa hari dan videonya viral di internet.

Salah satunya akun Twitter Rio Ola yang menganggap bahwa tindakan pihak keluarga itu berbahaya karena terancam dengan resiko penularan.

Tanggapan lain yang tak kalah sengit datang dari akun Facebook Judy Gohan. Menurutnya setiap orang yang melakukan pengambilan paksa jenazah harus menanggung resiko jika tertular corona dengan biaya sendiri.

"Orang yang tidak mengerti betapa mahalnya biaya perawatan Rumah sakit bagi pasien COVID 19 bisa seenaknya main paksa melawan protap perlakuan jenazah PDP COVID 19. Jika mereka terpapar COVID 19 karena kelakuannya mengambil paksa jenazah PDP Corona harusnya mereka siap menanggung beban biaya perawatan secara mandiri karena itu murni tindakan kesengajaan melanggar aturan."

Sementara pendapat yang berimbang disampaikan oleh akun Facebook Onez Indigo. Menurutnya pihak rumah rumah sakit maupun pihak keluarga harus menahan diri dan melakukan tindakan yang terbaik.

“Tindakan apapun bentuknya yang bersifat pemaksaan tentu ada sangsinya. Kedua belah pihak juga harus instrospeksi diri. Di pihak pmerintah harus bisa memastikan bahwa pasien yang dicurigai (ODP, PDP, OTG) itu hasil testnya keluar dgn cepat. Apalagi jika korban meninggal dunia, haruslah hasil test keluar sebelum jenasah masuk ruang mayat.”

Jadi apa pendapatmu tentang kasus penjemputan paksa jenazah pasien corona yang dilakukan keluarganya?

Baca juga: Heboh Warga di Surabaya Ambil Paksa dan Bongkar Peti Jenazah Positif Corona, Begini Faktanya!

Maraknya pengambilan paksa jenazah corona: stigma negatif masyarakat dan lambatnya hasil tes swab pasien keluar

stigma negatif masyarakat
Stigma negatif masyarakat | www.liputan6.com

Sebenarnya ada berbagai faktor yang membuat pihak keluarga sampai nekat mengambil paksa jenazah pasien terduga atau positif corona. Dan salah satu cara terbaik untuk melihat peristiwa ini secara menyeluruh dengan melihat dari sudut pandang keluarga korban.

Dalam beberapa kasus terdapat simpang siur hasil tes yang dikeluarkan pihak rumah sakit sehingga membuat pihak keluarga kebingungan. Atau hasil tes yang ditunggu tak kunjung keluar, sedang pihak keluarga ingin agar jenazah segera dimakamkan.

Andi Baso Riady Mappasulle, seorang warga Gowa yang baru saja kehilangan istrinya, pada pertengahan Mei silam. Pihak rumah sakit menyatakan bahwa istrinya sebagai pasien dalam pengawasan Covid-19, padahal Andi Baso mengklaim istrinya "tidak punya riwayat penyakit sebelumnya" dan "hanya tiba-tiba mengalami stroke".

Terbelih, menurut Baso, pihak rumah sakit mengakui bahwa penyebab kematian istrinya bukan karena virus corona, melainkan karena pecah pembuluh darah di kepala.

"Makanya kami pertahankan jenazah almarhumah. Kami bersitegang dengan petugas Tim Gugus Tugas Covid-19, tapi karena almarhumah sudah disematkan vonis PDP, mereka memaksakan untuk dikebumikan [menggunakan] protokol Covid-19," ujarnya, dikutip dari bbc.com.

Selain simpang siurnya hasil tes swab, tindakan pengambilan jenazah paksa juga karena adanya stigma negatif tentang penyakit corona. Jenazah yang ditenggarai berstatus PDP membuat orang enggan datang untuk melayat. Sehingga pihak keluarga mau tak mau ingin segera memakamkan jenazah untuk tak membiarkan stigma negatif berlarut-larut menghampiri mereka.

Terdapat pula kekhawatiran dari keluarga dan warga jika jenazah dimakamkan dengan protokol pemakaman Covid-19, pemakamannya tidak menurut aturan dan budaya. Sebenarnya hal itu bisa dihindari jika informasi ini sampai ke masyarakat dan tidak simpang siur. Hanya saja pemakaman untuk jenazah Covid-19 memang terkesan tertutup, tujuannya untuk kebaikan bersama, menghindari resiko penularan dari jenazah ke pihak keluarga.

Baca juga: Heboh Warga di Surabaya Ambil Paksa dan Bongkar Peti Jenazah Positif Corona, Begini Faktanya!

Apakah peristiwa ini akan terjadi lagi?

Stigma negatif corona
Stigma negatif corona | zonautara.com

Menurut psikolog sosial Sunu Bagaskara, fenomena pengambilan paksa jenazah Covid-19 mencerminkan emosi negatif masyarakat di tengah ketidakpastian pandemi Covid-19 yang telah berlangsung selama tiga bulan terakhir. Imbasnya, mereka cenderung mengambil tindakan berisiko.

"Orang kalau dalam situasi atau emosi negatif, terutama sedang marah, itu akan melakukan sesuatu hal yang lebih berisiko, sehingga mereka memandang remeh sebuah risiko," ujar Bagas, seraya menambahkan risiko terpapar Covid-19 bagi mereka yang mengambil paksa jenazah berstatus PDP yang ternyata positif Covid-19.

Dia menjelaskan alasan orang-orang mengambil paksa jenazah kerabatnya. Salah satunya karena mereka "panik dan syok atas keadaan yang terjadi". Apalagi, belum ada kepastian apakah jenazah itu positif atau negatif Covid-19.

"Ini memicu ketidakpastian di masyarakat, di keluarga, dan mereka memutuskan mengambil (jenazah) karena mereka meyakini almarhum meninggal bukan karena corona," kata dia.

Kapolri Jenderal Idham Azis sudah menerbitkan surat telegram kepada jajarannya yang mendorong pihak rumah sakit untuk melakukan tes swab pada pasien yang dirujuk sekaligus segera memastikan kejelasan status Covid-19 pasien kepada keluarga. Surat itu juga membolehkan jenaah dimakamkan secara syariat agama masing-masing jika terbukti negatif Covid-19, namun proses pemakamannya tetap harus memperhatikan protokol kesehatan.

Dengan beredarnya surat telegram dari Kapolri, kasus pengambilan paksa jenazah seharusnya tidak terjadi lagi. Pihak keluarga tetap bisa memakamkan jenazah selama hasil tes yang bersangkutan negatif. Tapi jika hasilnya positif, pihak keluarga bisa menerima pemakaman dengan standar yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. Tujuannya tak lain dan tak bukan, demi kesehatan dan keselamatan keluarga itu sendiri.

Tags :