Masyarakat Adat Baduy Tolak Dana Desa Rp 2,5 Miliar dari Jokowi! Alasannya Bikin Kamu Respect
23 November 2020 by MoseslazMasyarakat Baduy menolak pembangunan infrastruktur di tanah adatnya
Pembangunan infrastruktur memang menjadi salah satu fokus pemerintahan Joko Widodo saat ini. Pembangunan jalan tol sedang gencar-gencarnya, juga pembangunan infrastruktur desa yang didukung dengan program dana desa.
Berbeda dengan beberapa desa yang melakukan protes atau mengadu jika desanya belum terjamah program dana desa, masyarakat adat Baduy di Desa Kanekes, Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten justru menolak dana desa.
"Penolakan itu, karena pembangunan dikhawatirkan merusak kelestarian adat," kata Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (DPMPD) Pemkab Lebak Rusito (Cnnindonesia.com).
Menurut Rasito, pengalokasian bantuan dana desa tahun 2019 untuk masyarakat Baduy sebesar Rp 2,5 miliar ditolak berdasarkan keputusan adat mereka. Atas penolakan warga Baduy ini pemerintah pun tak bisa memaksa atau berbuat banyak agar warga Baduy menerima bantuan dana desa tersebut.
“Kami menghormati dan menghargai keputusan adat warga Baduy. Saat ini, dana desa itu masuk ke anggaran kas daerah dan tidak bisa dikembalikan ke pemerintah pusat," kata Rusito.
Berdasarkan penuturan Rusito, dana desa ini masuk kas daerah, dan tidak bisa dikembalikan ke pemerintah pusat. Untuk itu dana desa yang ditolak warga Baduy ini akan digunakan untuk pengalokasian tahun 2020 bagi desa lainnya.
Alasan masyarakat Baduy menolak dana desa ini karena mereka khawatir jika menerimanya unttuk pembangunan infrastruktur, nilai-nilai budaya dan mereka akan tergusur dan hilang. Karena memang permukiman adat Baduy seperti Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar menolak kehidupan modern, contohnya seperti pembangunan jalan, penerangan listrik dan alat-alat elektronik.
Jaro Saija, Kepala Desa Kanekes untuk masyarakat Baduy penolakan ini berdasarkan kesepakatan para pemangku adat Baduy. Telah diadakan 5 pertemuan para pemangku, dan sepakat menolak dana desa karena kekhawatiran atas pembangunan infrastruktur.
"Iya, alasan ditolak hasil kesepakatan. Para kolot (pemangku adat) kekhawatiran di sini diterima (dana desa) kekhawatiran seperti (alam) diperkembangkan, dimajukan. Kan di sini tanah ulayat, masuk (dana desa) permanen, jalan paving blok tidak boleh dilakukan. Kekhawatiran nanti ada rusak," kata Saija (Detik.com)
Dan hal tersebut merupakan adat dari leluhurnya turun-temurun yang wajib mereka patuhi dan taati. Sehingga dana desa sebesar Rp 2,5 miliar tersebut mereka tolak. Dana desa untuk warga Baduy ini sendiri termasuk nominal yang cukup besar jika dibandingkan dengan dana desa di desa lain, karena memang masuk kategori desa tertinggal.
Padahal sebelumnya masyarakat Baduy mau menerima bantuan dana desa untuk membangun infrastuktur desanya.
Dana desa yang mereka terima di tahuntahun sebelumnya digunakan warga Baduy untuk membangun jembatan bambu, Puskesmas Desa, juga kantor desa.
Tapi khusus Puskedes dan kantor desa dibangun diluar tanah adat Baduy karena memang bangunan permanen dilarang dilingkungan Baduy. Namun mungkin kekhawatiran akan adat budaya yang sudah terjaga dan dirutunkan oleh leluhurnya membuat masyarakat Baduy menolak dana desa tersebut.
Di satu sisi penolakan masyarakat Baduy dengan alasan mempertahankan kelestarian budaya dan adat perlu diacungi jempol. Karena memang menjaga kebudayaan dan adat tetap secara turun-temurun merupakan hal yang sulit, setuju gak guys?