Privilege dan Pencapaian: Topik Perdebatan Tak Berujung di Tanah Air yang Sering Bikin Geger

privilege dan achievement
Gambar hanya ilustrasi | keepo.me

Benarkah privilege dan jebakan kemiskinan struktural itu ada?

Pada 2014 silam, salah satu wisudawati bernama Raeni dari Universitas Negeri Semarang sontak mencuri perhatian. Dia berhasil menjadi lulusan terbaik dengan IPK 3,96. Tak hanya soal itu, kemunculannya di auditorium ketika diantar ayahnya yang mengayuh becak pun membuatnya mendapat sorotan berkali lipat lebih banyak.

Menginspirasi dan tak pantang menyerah, Raeni semakin menjadi perhatian saat dia melanjutkan studi ke University of Birmingham untuk mengejar gelar masternya. Masih berlanjut, akhirnya pada 2020 ini dia pulang ke tanah air dan membawa pulang gelar doktornya di kampus yang sama.

Perjalanan akademis Raeni ini tentu bisa dijadikan cambukan semangat bagi kalangan yang tak memiliki privilege. Mampu meraih kesuksesan dengan berjuang sendiri sampai berdarah-darah tentu menjadi achievement tersendiri. Tapi tak disangka, ternyata berita tentang update kabar Raeni ini kembali menyulut perdebatan tak berujung dari banyak pihak tentang privilege dan achievement ini.

Jika diibaratkan, dua hal ini seperti menjadi pemecah pertemanan tentang menyantap bubur diaduk dulu atau dibiarkan begitu saja. Perdebatan ini bakal menjadi pelik dan sulit menemukan ujung.

Berawal dari perjalanan inspiratif Raeni, privilege dan achievement jadi perdebatan

Beberapa waktu lalu (6/6), warga di jagat Twitter diajak untuk mengingat kembali Raeni melalui @Strategi_Bisnis. Wanita yang sempat viral ketika diantar ayahnya yang berprofesi sebagai tukang becak pada 2014 silam ini ternyata sudah menyelesaikan pendidikannya. Tak tanggung-tanggung, setelah lulus dari Universitas Negeri Semarang, Raeni berhasil membawa pulang gelar master dan doktor dari University of Birmingham pada 2020 ini.

Keberhasilan dalam bidang akademik ini seperti menjadi contoh nyata bahwa siapa saja bisa sukses tanpa privilege asalkan mau berjuang mati-matian dan fokus pada goals-nya. Framing pada caption yang cukup memancing tersebut, ternyata seperti membangunkan harimau yang sedang tidur.

Topik ini pun dibahas dan di-tweet oleh Jerome Polin. Influencer asal Surabaya yang sedang mengenyam pendidikan di Waseda University di Jepang ini pada awalnya melemparkan opini tentang kesuksesan seseorang berdasarkan privilese. Dari thread singkat tersebut, Jerome meninggalkan kesan bahwa privilese bukan jadi keistimewaan khusus mengingat tidak ada orang yang meminta dilahirkan dari keluarga dengan kondisi tertentu.

Setelah itu, Jerome seperti membelokkan definisi privilese itu sendiri. Di contoh kasus komik antara Cahya si kaya dan Tuti si miskin, dia memberikan tweak apa yang terjadi jika Tuti bisa naik jabatan karena kerja keras dan disukai atasan. Apakah itu juga termasuk privilese?

Supaya tidak bingung, kamu perlu membedakan arti privilege dan achievement secara umum.

Privilege: hak istimewa

Achievement: pencapaian, bisa disebut dengan kesuksesan

Jerome Polin: banyak orang sukses awalnya tak punya privilege, netizen menjerit

Pendapat ini pun bagaikan blunder buat Jerome. Banyak yang meninggalkan reply tentang definisi dan contoh privilege supaya tidak ada yang keliru dalam mengartikan. Bahkan, ada yang bilang jika Jerome belum bisa memahami perbedaan antara privliege dan achievement.

Karena tweet sebelumnya, Jerome pun membuat thread singkat untuk meng-counter opini warganet yang menunjukkan bahwa privilese adalah modal awal untuk membuat seseorang menjadi sukses. Statement “banyak orang sukses awalnya tak punya privilege” sontak membuat banyak yang menjerit dan tak sepakat dengan pemikiran tersebut.

Jerome menjelaskan bahwa ada rumus untuk meraih pencapaian menurut buku GRIT favoritnya:

Talent x effort = skill

Skill x effort = achievement

Kehadiran privilege memang penting, tapi yang membuat kesuksesan datang lebih dekat adalah porsi kerja kerasnya. Untuk yang punya hak istimewa, tetap dibutuhkan usaha keras untuk mendapatkan achievement. Tanpa adanya upaya pengembangan diri, seseorang dengan privilege pun akan mengalami kesulitan dalam memanfaatkan kekuatan finansial dan koneksi orangtuanya untuk menuju kesuksesan personal.

Untuk yang sejak dulu tidak diberkahi dengan privilese, tentu usaha dan kerja kerasnya harus ditambah lebih banyak porsinya. Mental tahan banting dan kemauan untuk belajar bisa menjadi nilai plus untuk menggantikan sisi privilese yang kosong.

Pendapat itu juga masih mendapat sanggahan dari banyak pihak. Salah satu yang realistis dan berdasarkan hasil penelitian dilontarkan oleh The SMERU Research Institute. Dari berbagai metode dalam riset tersebut, sederhananya: pendapatan anak yang terlahir dari keluarga miskin saat dewasa 87% lebih rendah dibanding yang memiliki privilese.

Jika ditarik kesimpulan, bukannya tidak mungkin yang tak memiliki privilege bisa sukses saat dewasa bila ada niat dan mau bekerja keras. Mungkin saja dia berhasil masuk dalam 13% dari data di atas. Tapi pada praktiknya, privilege adalah keistimewaan modal awal yang menentukan kesuksesan seseorang di masa depan.

Kesuksesan itu relatif, tapi privilege memang menjadi modal awal penting

Seperti penenang suasana yang panas di jagat Twitter saat itu, influncer @Amrazing ikut membahas tentang tema ini dalam thread yang cukup panjang namun singkat dan jelas. Dia menjelaskan tentang privilege dan achievement. Definisinya sama dengan yang ada di paragraf sebelumnya, namun dia lebih menekankan dan memperluas privilese yang sering tidak disadari oleh banyak orang. Misalnya gender, kondisi fisik, suku, dan agama.

Privilese memang bukan menjadi satu-satunya hal bagi seseorang bisa sukses dalam meraih achievement, tapi itu bisa menjadi modal awal untuk memuluskan usahanya selama ini. Setelah itu, biarkan waktu yang menunjukkan hasil dari prosesnya.

Dari sini, dari penulis memberikan pesan yang bisa direnungkan oleh empat pihak:

1. Apabila kamu memiliki privilege sejak kecil dan mampu meraih kesuksesan saat dewasa, tidak ada yang salah dengan hal itu

2. Jika kamu terlahir dari keluarga miskin tanpa punya hak istimewa itu, berusaha mati-matian untuk meraih achievement dan berhasil sukses, selamat! Kamu bisa mematahkan anggapan bahwa siapa saja bisa mewujudkan impian yang kata orang adalah bualan belaka

3. Bila kamu memiliki privilege dan nggak terlalu sukses dibanding yang lain, tak ada salahnya untuk tetap bersyukur. Akui jika mungkin saja usahamu tidak senekat orang lain dan cenderung suka di zona nyaman. Lanjutkan perjuanganmu untuk meraih kesuksesan sesuai dengan targetmu

4. Bilamana kamu tidak dapat privilese dan belum mampu meraih kesuksesan, perjuanganmu masih belum usai, bung. Kamu perlu menyiapkan tenaga dan melakukan usaha ekstra supaya bisa meraih achievement. Janganlah berkoar-koar dan menyalahkan keadaan dan status quo. Masih ada upaya untuk maju tetap akan membawa perubahan meski lama dan lebih berdarah-darah

Artikel Lainnya

Pada akhirnya, achievement sendiri itu memiliki patokan yang subyektif. Jika diukur dalam satuan materi, tentu tidak akan ada habisnya. Merasa gaji Rp8 juta nggak cukup untuk fresh graduate lulusan universitas bergengsi di tanah air? Mungkin saja untuk yang lainnya jumlah itu lebih dari cukup. Yang gajinya Rp26 juta tapi masih menjadi buruh di perusahaan orang, juga tidak bisa dinilai lebih baik dengan yang menjadi entrepreneur.

Memasang target setinggi-tingginya memang bagus, tapi kamu sendiri yang akan mendefinisikan kata sukses itu sendiri dalam hidupmu. Semua akan mungkin jika mau berusaha. Terlepas dari hadirnya privilege atau tidak sebagai modal awal, kamu lah yang menentukan kebahagiaanmu sendiri. Semoga tetap bahagia berapapun pemasukan dan rezeki yang kamu terima dan miliki.

Selain itu, siapa saja bisa meraih kesuksesan. Tak hanya Raeni yang berjuang from no one to someone dengan usaha sendiri tanpa privilege. Bahkan untuk kamu yang memperdebatkan tentang privilege dan achievement. Tak perlu geger lama-lama dan jadikan topik ini sebagai perdebatan ringan yang tidak berujung merusak pertemanan, ya.

Tags :