Filosofis, Pakaian Adat Yogyakarta Ini Selalu Kental Akan Makna Kehidupan
18 Januari 2021 by FR LalunaHakikat hidup manusia terwakili di pakaian adat Yogyakarta ini
Yogyakarta adalah wilayah di pulau Jawa yang memiliki keunikan tersendiri. Daerah istimewa di Indonesia ini bisa dibilang punya karakteristik dan keeksotisan yang membuat banyak orang tak sungkan datang kembali ke sana. Salah satu sisi keunikan Jogja ada pada pakaian adatnya.
Sudah bukan rahasia lagi jika pakaian adat Yogyakarta pasti akan kental dengan makna yang filosofis. Arti tersebut biasanya berhubungan dengan agama dan adat istiadat kota itu sendiri. Seperti halnya pakaian adat yang diulas di bawah ini.
Pakaian adat Yogyakarta dan maknanya masing-masing
Setiap pakaian punya namanya masing-masing. Pakaian adat di Yogyakarta ini digunakan oleh warga Jogja berdasarkan pada golongan dan status sosialnya. Apa saja penggolongannya? Simak saja penjelasannya di bawah ini.
Busana Ageng
Pakaian adat yogyakarta pertama ini dinamakan Busana Ageng. Busana Ageng adalah pakaian yang digunakan oleh pejabat Keraton ketika tengah bertugas. Pakaian tersebut terdiri dari jas berbahan dasar kain tenun bulu domba yang disebut dengan jas laken. Lalu dipadukan dengan baju berkerah tegak.
Pelengkap Busana Ageng adalah sutera biru tua yang panjangnya mencapai pantat dengan kancing busana yang bersepuh emas. Untuk bagian bawah pakaian adat keraton Yogyakarta ini, dipadukan dengan celana panjang hitam dan topi berbahan dasar laken biru tua yang panjang sekitar 8 cm.
Baca juga: Pakaian Adat Jawa Tengah yang Bertahan Hingga Saat Ini
Busana Samekanan
Penasaran dengan pakaian yang digunakan oleh para putri Keraton? Nama pakaian adat Yogyakarta tersebut adalah Busana Samekanan. Pakaian yang satu ini memakai kain penutup dada panjang di mana lebarnya separuh dari lebar kain biasa.
Pakaian adat keraton Yogyakarta ini biasanya dipadukan dengan kain batik, samekanan tritik, serta kebaya katun. Untuk aksesoris, yang dipakai sebegai pelengkap adalah perhiasan subang, cincin, dan gelang dengan rambut sanggul tanpa hiasan apapun.
Baca juga: Inspirasi Gaun Pernikahan Adat Lengkap dengan Hijab
Peranakan dan Atela
Abdi dalem merupakan pegawai atau karyawan yang bekerja dan mengabdi di Keraton Yogyakarta. Para abdi dalem ini memiliki seragam adatnya tersendiri. Nama pakaian adat Yogyakarta ini adalah Pernakaan dan Atela.
Peranakan mempunyai arti dan tujuan yang diambil dari kata peranakan itu sendiri. Yakni supaya bisa menjalin tali persaudaraan layaknya saudara kandung sendiri.
Pakaian adat keraton Yogyakarta Peranakan normalnya mempunyai 6 buah kancing di leher yang bermakna sebagai rukun iman. Serta ada 5 kancing di ujung lengan yang menjadi simbol rukun islam. Sementara itu, Atela dipakai oleh abdi dalem yang pangkatnya minimal Wedana. Atela sendiri berwarnanya putih.
Pakaian tersebut dipakai saat momen tertentu seperti upacara besar kerajaan. Untuk pakaian adat Keraton Yogyakarta Atela yang warnanya hitam biasanya dikenakan untuk sejumlah acara di Yogyakarta.
Baca juga: Rekomendasi Tema Bridal Shower
Surjan
Surjan merupakan istilah pakaian adat Yogyakarta khusus bagi pria dewasa. Pakaian ini terdiri dari atasan dan bawahan yang menggunakan jarik atau kain batik khas Jawa. Bentuknya sendiri adalah kemeja lengan panjang dengan kerah pendek di bagian lehernya.
Bersama dengan blangkon dan sandal, pakaian adat di Yogyakarta ini kerap disebut dengan pakaian takwa karena maknanya yang erat dengan agama islam. Hal itu bisa dilihat dari 6 kancing di pakaian itu yang menggambarkan rukun iman. Dua kancing di dada kanan kiri adalah yang mewakili dua kalimat syahadat.
Ada pula tiga buah kancing di bagian dalam pakaian yang bermakna nafsu manusia. Nafsu tersebut di antaranya nafsu aluamah, amarah, dan supiyah. Letak kancing yang sengaja ada di dalam dimaksudkan supaya nafsu tersebut bisa dikendalikan dan ditutup oleh pengguna surjan.
Blangkon yang digunakan berbeda dari wilayah Solo. Blangkon Yogyakarta mempunyai tonjolan di sisi belakangnya. Tonjolan itu berkaitan dengan adat orang Jawa di mana setiap orangnya harus selalu menyimpan rahasia dan tidak membuka aib orang lain maupun diri sendiri.
Selain itu, nama pakaian adat Yogyakarta surjan berasal dari kata siro dan jan yang berarti makna pelita atau memberi terang. Ada mitos unik yang menyelimuti surjan. Konon jika seseorang mengenakan surjan lengkap dengan batik, stagen, tali, dan ikat pinggang, berat badan orang itu akan stabil.
Baca juga: Syarat Nikah Menurut Agama dan Negara
Kebaya
Jika tadi ada pakaian adat untuk pria, kali ini wanita Yogyakarta punya kebaya. Kebaya sendiri memang sudah tak asing lagi di Pulau Jawa. Akan tetapi, kebaya yang digunakan oleh orang Jogja punya corak yang berbeda.
Bahan dasar kebaya Jogja tidak terbuat dari kain murahan. Kain brokat yang dipakai di pakaian adat di Yogyakarta ini haruslah berkualitas tinggi. Di dalamnya, ada kemben yang berfungsi sebagai penutup payudara, ketiak, dan punggung.
Kain tersebut dipadukan dengan stagen yang kemudian dililit di perut wanita sebagai pengikat agar tidak lepas. Untuk bawahan pakaian adat Yogyakarta ini adalah kain tapih pinjung maupun songket. Selain itu, tatanan rambutnya juga khas konde tradisional. Sanggul ini tidak sembarang karena memiliki makna tersendiri.
Filosofi dari kebaya Jogja sendiri menggambarkan kehalusan dan tindak tanduk wanita yang seharusnya lemah lembut. Selain itu, aksesoris yang dipakai juga punya arti. Sebut saja kalung bersusun yang melambangkan 3 tingkatan kehidupan manusia yakni lahir, menikah, dan kematian.
Tingkatan kehidupan itu merujuk pada konsep Jawa mengenai alam baka, alam tengah, serta alam fana. Lalu, ada gelang yang melingkar tanpa ujung pangkal yang bermakna keabadian.
Kemudian, sanggul tradisional untuk wanita dewasa biasanya berwarna merah, hijau, dan kuning yang menjadi simbol dari Trimurti atau tiga dewa kehidupan. Jangan lupakan bentuk gunung di sisir yang menjadi lambang keagungan Tuhan dan harapan tentang kebahagiaan. Sangat dalam, 'kan?
Baca juga: Serba-serbi Hantaran Lamaran Sederhana
Kencongan
Jika surjan ditujukan untuk pria dewasa, kencongan diciptakan untuk anak laki-laki. Pakaian adat di Yogyakarta ini terdiri dari baju surjan dan kain batik berwiru tengah sebagai bawahannya.
Busana adat ini biasanya diberi pelengkap berupa sabuk, ikat pinggang, dhestar (penutup kepala), serta selendang. Anak-anak di Jogja ada juga yang menggunakan kencongan dengan tambahan cathok dari suwawa ataupun emas. Maknanya pun tak berbeda jauh dari baju surjan.
Baca juga: Masyarakat Baduy Tolak Dana Desa 2,5 Miliar dari Jokowi
Sabukwala Padintenan
Nama pakaian adat Yogyakarta yang terakhir ada Sabukwala Padintenan yang berupa kain batik parang, baju katun, dan bulatan. Dengan hiasan motif bunga dan hewan, pakaian adat ini biasanya ditambahi aksesoris pendukung lain.
Aksesoris tersebut di antaranya yakni gligen (gelang berbentuk ular), selendang, ikat pinggang perak berbentuk kupu-kupu, garuda, atau merak, selendang, serta kalung emas berliontin mata uang. Dengan sanggul tradisional, pakaian ini sangat khas dan memiliki filosofi tersendiri.
Sabukwala Padintenan sendiri dibagi menjadi tiga. Ada sabukwala nyamping batik untuk pakaian sehari-hari dan upacara alit, sabukwala nyamping praos sebagai pakaian dalam resepsi atau supitan (sunat), serta sabukwala nyamping cindhe untuk upacara grebeg dan tetesan.
Beberapa pakaian adat Yogyakarta tersebut memiliki makna yang berbeda-beda. Dari makna tersebut, kamu bisa selalu mengingat untuk terus berbuat baik di kehidupan yang hanya sementara ini. Sungguh filosofis!