Sedih Bacanya, Inilah Sejarah Pilu Dunia Pelacuran yang Ada di Indonesia
21 Juni 2021 by Muhammad Sidiq PermadiPelacuran sudah mengakar sejak zaman kerajaan
Dunia pelacuran erat dikaitkan dengan tiga hal: dunia malam, wanita, dan pria hidung belang. Di Indonesia sendiri terdapat beberapa tempat pelacuran sempat berdiri. Sebut saja Pasar Kembang di Yogyakarta, Saritem di Bandung, hingga Dolly di Surabaya.
Kalau kita amati memang tempat pelacuran lebih banyak terdapat di kota-kota besar mengingat tingkat perekonomian yang lebih maju dibandingkan dengan kota lainnya.
Lantas, seperti apa awal mula dunia pelacuran di Indonesia ini mulai mewabah? Apakah benar para wanita rela menjual dirinya kepada pria hidung belang hanya karena himpitan ekonomi? Berikut ini sejarah singkat tentang dunia pelacuran di Indonesia!
Perkembangan pelacuran dari masa ke masa
Hull (1977) menyatakan bahwa adanya perkembangan pelacuran yang terjadi di Indonesia dari masa ke masa. Mulai dari masa kerajaan-kerajaan di Jawa hingga setelah kemerdekaan Indonesia.
Baca juga: 5 Fakta Pilu Para 'Nyai', Pelacur Pribumi Peliharaan Belanda
Pada masa kerajaan-kerajaan Jawa, perdagangan terhadap wanita diinisiasi oleh sistem kerajaan yang feudal di mana para raja dapat memiliki sebanyak mungkin selir yang diinginkan.
Meski begitu, sistem feudal ini tidak sepenuhnya menggambarkan industri perdagangan wanita seperti yang dirasakan oleh masyarakat modern. Akan tetapi, sistem ini nyatanya menjadi landasan terciptanya perkembangan industri seks/pelacuran di masa sekarang.
Perkembangan pelacuran di era kolonial Belanda
Pada saat Indonesia dijajah oleh Belanda, bentuk pelacuran menjadi lebih terorganisir dan berkembang pesat. Hal ini dipicu oleh pemenuhan kebutuhan dan pemuasan seks masyarakat Eropa yang ada di Indonesia.
Baca juga: Kerap Terjadi Kecelakaan Maut, Ini Misteri Batu Keramat hingga Kerajaan Gaib di Tol Cipali
Pada periode 1650-1653, Gubernur Jenderal Carel Reynierz sangat mendukung gagasan adanya perkawinan antara pegawai VOC dengan perempuan Asia atau Eurasia.
Hal tersebut lantas menjadi bukti kuat fenomena pelacuran di zaman kolonial yang lebih terorganisir dengan menjadikan perkawinan campur antara orang-orang Belanda dengan wanita pribumi sebagai bentuk legalitas bisnis pelacuran yang telah dilakukan.
Dengan cara demikian, maka keberadaan pelacuran pada masa itu dianggap sangat terorganisir dan rapi. Terlebih para pegawai VOC yang rata-rata orang Belanda memiliki bawahan para wanita pribumi.
Baca juga: Deretan Makhluk Gaib yang Ada di Kalimantan Ini Bakal Bikin Tidurmu nggak Nyenyak
Dalam hal ini, untuk memuaskan nafsunya, para pegawai VOC memaksa para wanita pribumi untuk melakukan perkawinan campur sehingga apa yang dilakukan oleh pegawai VOC dinilai bukanlah sebuah kesalahan.
Para wanita pribumi yang notabene-nya merupakan bawahan mau nggak mau harus menerima keputusan itu. Karena perkawinan ini, para pegawai VOC pun mendapatkan keuntungan ekonomi yang lebih.
Dalam masa yang suram ini, muncullah istilah gundik atau para nyai untuk menyebut istri para lelaki Belanda. Perkawinan campur ini lantas melahirkan anak-anak keturunan Indo-Belanda dan semakin memperkuat status sosial orang-orang Belanda di Indonesia.
Baca juga: Mengerikan! Konon 6 Hantu Ini Gemar Memperkosa Manusia
Pelacuran di zaman Jepang yang semakin parah
Masuk ke dalam masa pendudukan Jepang, aktivitas prostitusi kian menjadi. Di masa ini, semua perempuan yang dijadikan budak atau wanita penghibur dikumpulkan menjadi satu di dalam sebuah rumah bordir.
Faktanya bukan hanya para budak atau wanita penghibur saja yang berada di rumah bordir tersebut, tetapi juga para wanita yang telah tertipu atau terpaksa melakukan hal itu (Hull, 1977: 3).
Baca juga: Menguak Sejarah Kelam Rumah Hantu Darmo Surabaya, Lokasi Pesugihan dan Penumbalan
Kejadian ini membuat yang tadinya adalah wanita pribumi terhormat langsung turun kasta dan dicap sebagai wanita penghibur atau Jugun Lanfu pada masa pemerintahan Jepang di Indonesia.
Hingga saat ini, kisah tentang para Jugun Lanfu begitu menyedihkan. Meski demikian belum ada penelitian yang kompleks yang mengangkat tentang permasalahan ini sebagai sejarah wanita pribumi di tengah perbudakan dan penjajahan masa pendudukan Jepang.
Itu dia sejarah dunia pelacuran di Indonesia dari masa ke masa. Begitu menyedihkan bukan? Untuk masa pasca-kemerdekaan sendiri, dunia pelacuran tidak lantas berhenti. Pada saat itu, muncullah berbagai rumah bordir dengan wajah rumah di perkampungan, seperti Saritem, Sarkem, dan Dolly.