Sebelum Kisah Slamet, Ini Kasus Serupa Lain yang Pernah Terjadi di Yogyakarta
04 April 2019 by Ririh DirjaPuisi Wiji Thukul ada yang dicuri ormas.
Kisah seorang seniman bernama Slamet Jumiarto (42) yang ditolak warga RT 8 Dusun Karet, Desa Pleret, Kecamatan Pleret, Bantul akibat perbedaan agama sempat menimbulkan kontoversi. Dilansir dari Detik.com, Slamet yang sudah 19 tahun tinggal di Yogyakarta tersebut pindah ke desa itu pada hari Sabtu tangal 30 Maret 2019. Tapi saat meminta izin tinggal kepada RT setempat ia dan keluarganya ditolak akibat agama di KTP dan KK adalah Katolik.
Atas hal itu, Ketua DPRD DIY, Yoeke Indra Agung Laksana pun ikut angkat bicara. Ia mendesak untuk merevisi aturan yang melarang warga beda agama dari mayoritas warga setempat untuk tinggal di kampung itu. Sedangkan saat ini kasus Slamet sudah berakhir dengan damai dan larangan kontroversial tersebut sudah dicabut.
"Karena ada permasalahan yang sifatnya mendiskreditkan warga atau non-muslim dan karena sudah melanggar peraturan undang-undang, kami sepakat aturan itu (pendatang non-muslim dilarang bermukim di Dusun Karet) kami cabut. Serta permasalahan sama Pak Slamet sudah tidak ada," ujar Kepala Dusun Karet, Iswanto.
Tapi ternyata kasus serupa tidak hanya sekali ini saja terjadi di Yogyakarta. Sebelumnya juga ada kasus lain yang sempat bikin heboh.
Romo diserang di Gereja Lidwina
Seorang romo asal Jerman bernama Romo Karl Edmund Prier sempat diserang orang tak dikenal saat memimpin misa di Gereja Santa Lidwina, Sleman. Peristiwa itu terjadi pada hari Minggu tanggal 11 Februari 2018.
Dilansir dari Detik.com, akibat penyerangan itu Romo Prier mendapatkan luka parah di bagian telinganya. Romo Prier diketahui adalah seorang misionaris asal Jerman yang datang ke Indonesia pada tahun 1964. Ia juga merintis Pusat Musik Liturgi Yogyakarta khususnya sebagai wadah inkulturasi musik liturgi.
Pemotongan salib
Kasus pemotongan salib disebuah makam milik seorang warga Katolik juga sempat menghebohkan warga Yogyakarta. Peristiwa ini terjadi di pemakaman Jambon Purbayan RT 53/RW 13, Kota Gede pada tanggal 17 Desember 2018.
Kayu nisan itu merupakan milik seorang warga bernama Albertus Slamet Sugihardi yang meninggal dunia. Nisan berbentuk salib itu dipotong atas persetujuan warga sekitar dan keluarga, lantaran di pemakaman tersebut sebagian besar adalah untuk muslim.
Dilansir dari Kompas.com, atas hal ini Sultan Yogyakarta pun turun tangan dan memberikan klarifikasi agar tidak terjadi kesalahpahaman lagi ke depannya. Kapolsek Kotagede Kompol Abdul Rochman pun juga menyatakan kalau masalah ini sudah selesai.
"Tidak ada paksaan, Itu kan sebenarnya cuma disarankan dari warga. Keluarga sendiri memahami. Kondisi di sini kondusif, tidak seheboh yang ada di media sosial," jelasnya.
Larangan bakti sosial di gereja
Kasus bakti sosial (baksos) di Yogyakarta ini terjadi saat sekelompok organisasi kemasyarakatan atau ormas menolak kegiatan tersebut di Gereja Santo Paulus, Pringgolayan, Banguntapan, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Hal ini terjadi pada hari Minggu tanggal 28 Januari 2018.
Gereja Santo Paulus, Pringgolayan semula akan menggelar bakti sosial di rumah Kasmijo. Diketahui kegiatan ini merupakan rangkaian acara untuk memperingati 32 tahun berdirinya gereja sekaligus peresmian paroki.
Dilansir dari Tempo.co, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X pun memberikan penjelasan atas larangan tersebut. Ia mengatakan jika baksos jangan mengatasnamakan gereja.
"Mbok baksos itu enggak usah mengatasnamakan gereja, kan (persepsinya) jadi lain," ujar Sultan Rabu, 31 Januari 2018.
Selain itu Sultan juga tidak sependapat bahwa penolakan ormas itu dianggap sebagai razia atau pemaksaan. Sebab, kata dia, sebelumnya sudah ada dialog dengan kepolisian dan meminta persoalan pembatalan baksos gereja tersebut tak perlu diperpanjang.
"Sudah dimediasi polisi," katanya.
Penolakan tradisi sedekah laut
Tradisi sedekah laut yang rencananya digelar di Pantai Baru, Bantul terpaksa harus dibatalkan akibat penolakan dari beberapa warga. Pasalnya sempat ada sekelompok oknum yang mengobrak-abrik lokasi, sekelompok orang itu mengatakan bahwa tradisi sedekah laut syirik dan bertentangan dengan agama.
"Mereka minta dibatalkan karena sedekah laut itu syirik dan musyrik, terus bertentangan dengan agama," ujar salah seorang warga (13/10/2018) dikutip dari laman Detik.com.
Selain itu kata seorang warga Ngentak, Poncosari, Srandakan, Bantul, Tuwuh (48) mengatakan bahwa baru kali ini terjadi kericuhan seperti ini. Sebelumnya semua aman-aman saja.
"Untuk kirab, labuhan, pangkur dan gambyong dihilangkan, jadi tinggal reog saja rencananya. Sedekah laut itu setiap tahun dan rutin, tapi baru kali ini jadi begini (Tidak berjalan lancar)," jelas Tuwuh.
Pameran seni Wiji Thukul dibubarkan
Karya seniman Andreas Iswinarto terpaksa dibubarkan paksa oleh massa ormas. Pameran itu digelar di Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada 11 Mei 2017.
Tapi ada sekitar 30-an orang ormas yang tiba-tiba datang membubarkan dan menurunkan karya tersebut. Ormas tersebut juga sempat membawa sekitar 5 karya dan beberapa puisi Wiji Thukul.
"Ada sekitar lima karya dan sejumlah puisi yang dibawa. Sebagian lain sudah kita pertahankan," ujar Andreas dikutip dari Detik.com.
Ia juga menambahkan pameran yang sama juga sudah digelar di beberapa kota dengan lancar.
"Kecuali di Semarang dan Yogyakarta. Rencananya saya akan pameran di kota lain," imbuhnya.
Itulah beberapa peristiwa yang sangat disayangkan pernah terjadi di Yogyakarta. Sebagai negara yang berpedoman kepada Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika, seharusnya kita bisa saling menghargai dan bertolerasi satu sama lainnya. Semoga saja kejadian semacam ini tak terulang lagi.