Memukau! Tebing Besar di Oman Ini Dipahat Kemudian Dijadikan Sebuah Desa
23 Juni 2019 by Muchamad Dikdik R. AripiantoMelihat Desa Pahat, Al Sogara
Setiap orang yang hidup kapan dan di mana pun, akan membutuhkan tempat bernaung. Hal ini tentunya dirasakan pula oleh warga negara Oman di desa Al Sogara. Tapi menariknya, mereka memiliki imajinasi rumah yang tidak umum.
Warga Al Sogara memukau mata dunia. Alasannya, rumah-rumah di desa yang berumur lebih dari 500 tahun itu dibangun dengan memahat tebing sebuah gunung batu.
Praktik memahat rumah di atas tebing ini ternyata sudah dilakukan sejak 500 tahun lalu oleh para suku pendatang, Alshariqi dari Yordania. Hingga kini masyarakat di sana masih mempertahankan kebiasaan tersebut. Berikut beberapa ulasan mengenai desa Al Sogara:
Dipahat di “Green Mountain”, Gunung Jabal al Akhdar
Al Sogara adalah desa terpencil di wilayah Oman. Meski terpencil, kini desa itu telah dikenal masyarakat dunia sebagai salah satu keindahan kebudayaan Oman.
Desa Al Sogara terletak di sekitar 195km barat daya garis pantai Muscat. Tepatnya, berada di sebuah wilayah lereng berdebu gunung batu setinggi 2.980m, yakni Jabal al Akhdar atau yang juga dikenal dengan julukan “Green Mountain”.
Dilansir dari BBC.com, Jabal al Akhdar termasuk salah satu wilayah yang paling terpencil di negara Oman. Tak ada akses beraspal menuju wilayah itu. Jabal al Akhdar hanya dapat dilalui dengan berjalan kaki atau dengan moda yang paling diandalkan, seekor bagal (semacam keledai).
Baca juga: Tradisi Pasca Kematian yang nggak Pernah Kamu Duga
Al Sogara, Desa Paling Terpencil di Oman
Perjalanan menuju desa Al Sogara bukanlah sesuatu yang mudah. Jalur yang dilalui cukup sulit. Kita mesti melewati ngarai yang berlika-liku serupa labirin. Selain itu, untuk sampai di Al Sogara kita harus berjalan kaki menyusuri tebing dan menaiki tangga batu setinggi 20 meter.
Karena Al Sogara tersembunyi serta sulit terjangkau, maka jumlah penghuni desa tersebut terbilang tak begitu banyak.
Tidak ada sekolah di sana. Jika ingin bersekolah, anak-anak desa Al Sogara harus berangkat ke sekolah yang terletak di kota tetangga, Saiq, berjarak 14 km dari desa.
Tradisi sekolah pun tercatat belum begitu lama, yakni dimulai sekitar tahun 1970-an. Sebelumnya, anak desa Al Sogara hanya cukup belajar di rumah.
Memiliki Silsilah Masyarakat “Kuno”
Penduduk Al Sogara berasal dari nenek moyang yang sama, suku Alshariqu dari Yordania. Mereka tiba di sana sejak ratusan tahun yang lalu.
Sepanjang generasi, mereka terus melanjutkan praktik kuno membangun rumah dengan batu, tanah liat, serta memahatnya langsung di permukaan gunung. Ini merupakan tradisi yang telah terjaga selama berabad-abad.
Rumah Pahat sebagai Bentuk Adaptasi terhadap Cuaca Ekstrim
Dengan ketinggian 2.700mdpl, Al Sogara menjadi salah satu wilayah bersalju. Musim dingin menjadi “ancaman alam” yang serius. Bagi warga Al Sogara, rumah pahat adalah upaya adaptasi terhadap kondisi alam yang ekstrim.
Rumah pahat, yang bahan dasarnya tanah liat dan batu kapur itu, menjadi pelindung warga desa dari cuaca dingin. Pun sebaliknya, ketika musim panas, rumah pahat menjaga kesejukan bagi penghuninya.
Gaya hidup pastoral: Gua Gembala, dan Simbol Kemakmuran
Selain memanfaatkan lereng gunung yang diukir menjadi deretan rumah, penduduk setempat pun menggunakan gua-gua alam yang terdapat di gunung sebagai kandang bagi hewan ternak mereka.
Biasanya, mereka hanya menambahkan pagar di sekitar mulut gua untuk memastikan ternak mereka tak akan kabur atau aman dari serangan binatang liar.
Bagi warga Al Sogara hewan menandakan kemakmuran: semakin banyak kambing, domba atau bagal yang dimiliki sebuah keluarga, maka semakin terpandang dan kayalah keluarga tersebut.
Selain menggembala, warga pun berkebun. Mereka menanam buah delima, kenari, persik, aprikot, jeruk, ara, kurma, bawang putih, bawang merah, dan berbagai jenis sayuran lainnya.
Irigasi Aflaj Penopang Kehidupan Warga
Air merupakan kebutuhan vital bagi masyarakat di mana pun. Apalagi bagi warga Al Sogara yang berbagi hidup dengan ternak dan kebun-kebun di lereng tebing sebuah gunung batu yang jauh terpencil.
Kebutuhan akan air tak bisa ditangguhkan. Maka, sejak dulu para pemukim kuno Al Sogara telah mengembangkan sistem irigasi cerdas yang disebut ‘Aflaj‘. Sistem irigasi ini memanfaatkan gravitasi untuk menyalurkan air dari bawah tanah.
Kanal-kanal itu dibangun ratusan tahun yang lalu oleh warga setempat. Setiap keluarga berbagi kanal. Mereka memiliki air harian untuk perkebunan mereka. Namun, kini banyak kanal yang sudah mengering akibat perubahan cuaca. Dampaknya, hasil panen mereka pun semakin berkurang.
Demikian beberapa sisi kehidupan di Al Sogara. Kabarnya, dalam beberapa tahun terakhir, kelangkaan pekerjaan lokal telah menyebabkan beberapa penduduk Al Sogara perlahan pergi meninggalkan desa, mencari pekerjaan di tempat yang lain. Kondisi ini oleh sebagian orang dianggap sebagai ancaman bagi eksistensi desa Al Sogara.
Di dunia yang semakin terhubung, masa depan pemukiman batu yang jauh terpencil ini tampak semakin rapuh. Meski demikian, di samping penduduk desa yang memilih pergi dari gunung yang semakin kering itu, nyatanya masih ada pula yang memilih tetap tinggal.
Mereka berutinitas sebagaimana mestinya; bangun setiap pagi, merawat kambing, mengambil kurma dari kebun, dan berjalan ke Aflaj untuk mengambil air. Mereka tetap menjalani corak hidup yang telah berlangsung sejak berabad lamanya itu.
Masyarakat adalah sesuatu yang dinamis, dalam perjalanannya akan ada yang pergi, juga yang setia dan tetap tinggal. Jadi bagaimana menurutmu, apakah Al Sogara akan mampu bertahan dan menjawab arus zaman?