Hanya Karena Perbedaan Agama, Pria Ini Ditolak Tinggal Oleh Warga Desa
03 April 2019 by Amadeus BimaDuh, peraturan di daerahnya kok gini banget ya?
Seorang pria bernama Slamet Jumiarto (42), untuk pertama kalinya dalam hidup merasakan diskriminasi dan intoleransi karena perbedaan agama. Dia ditolak pindah kontrakan ke Padukuhan (Dusun) Karet RT 8, Desa Pleret, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul, pada Jumat (29/3), hanya karena agamanya adalah Katolik. Sementara, semua warga dusun itu beragama Islam.
Padahal, sebelum pindah ke tempat kontrakan baru, seniman lukis ini sudah mengonfirmasi kepada pemilik rumah yang memastikan tidak masalah seorang non-muslim tinggal bersama warga lain yang beragama mayoritas. Akhirnya, Slamet menyerahkan fotokopi KTP, KK, hingga surat nikah kepada ketua RT. Tapi, begitu dilihat bahwa agamanya adalah katolik ketua RT dan kepala dukuh sontak menolaknya.
Kemudian paginya saya ketemu ketua kampung itu pun juga ditolak kemudian saya ingin ketemu Pak Dukuh, cuma waktu kemarin belum tahu rumahnya belum tahu namanya. Mungkin karena saya terlalu emosi dengan hal ini kemudian saya langsung melaporkan hal ini ke sekretaris Sultan HB X (Hamengku Buwono X),” jelasnya, dilansir dari Kumparan.
Penolakan terhadap Slamet ini berdasarkan Surat Keputusan Pokgiat Tentang Persyaratan Pendatang Baru di Padukuhan Karet yang ditandatangani oleh Ketua Pokgiat dan Kepala Dusun Karet. Surat yang dibuat tahun 2015 ini memuat beberapa syarat yang harus dipatuhi oleh pendatang baru yang ingin tinggal di dusun tersebut. Salah satu aturannya adalah, pendatang baru harus beragama Islam.
Selain itu, maka warga dusun Karet keberatan menerima mereka yang berbeda keyakinan. Namun, tidak dijelaskan pasti kenapa pendatang baru haruslah beragama Islam dan yang non-muslim tidak diterima. Lalu, setelah melapor kepada Sekretaris Sultan, Slamet diarahkan bertemu dengan Pak Lurah, Ketua Dusun dan Ketua RT. Mereka kembali melakukan musyawarah tapi hasilnya nihil.
Slamet tetap tidak bisa diterima untuk tinggal di dusun tersebut. Padahal, Slamet mengklaim kalau dia telah melakukan mediasi dengan warga setempat, dan beberapa sesepuh sudah mengizinkan dirinya tinggal di dusun itu. Akhirnya, ketua RT mengizinkan Slamet bisa tinggal di dusun Karet, tapi hanya 6 bulan saja.
Slamet keberatan dengan penawaran tersebut. Soalnya, untuk pindah dan mengontrak di tempat baru ini, dia sudah mengeluarkan uang Rp 4 juta untuk satu tahun mengontrak. Dia juga sudah mengeluarkan biaya Rp 1,2 juta untuk renovasi rumah dan biaya transport renovasi. Jadi, kalau memang warga tidak mengizinkannya tinggal, dia meminta seluruh uangnya dikembalikan utuh.
Terus yang 6 bulan lagi dikembalikan dalam bentuk uang. Kalau tidak satu tahun saya mending minta uangnya lagi full satu tahun ke pada saya. Kalau hanya 6 bulan kan buat apa. Sama aja penolakan secara halus kepada saya. Kalau memang boleh ya boleh kalau nggak ya nggak gitu aja,” ujarnya.
Slamet sebenarnya sangat menyayangkan peraturan itu karena bertentangan dengan Pancasila dan undang-undang. Masa hanya karena perbedaan agama, maka dia tidak bisa tinggal di suatu daerah, padahal dia bukan penjahat atau gimana. Tapi, dia enggan berdebat lebih jauh dan bersedia pindah jika uangnya telah dikembalikan oleh pemilik kontrakan secara utuh.
Saya asli Semarang tapi sejak 2009 sudah menjadi warga KTP Yogyakarta. Baru kali ini di tempat ini saya mendapati penolakan hanya gara-gara non-muslim. Ironis dan aneh intoleransi seperti ini perlu dihindari supaya Yogyakarta di mata nasional juga baik,” harap Slamet.
Di lain pihak, Kepala Dusun Karet, Iswanto membenarkan bahwa Slamet memang ditolak tingal di dusun karet. Alasannya ya karena ada surat tadi, yaitu yang berasal dari Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa Kelompok Kegiatan Dusun Karet. Aturan di surat itu sudah tegas mengatakan bahwa warga dusun sudah sepakat bahwa yang boleh tinggal di antara mereka hanya yang menganut paham Islam.
Peraturan sih peraturan, ya. Tapi, kalau hanya memecah belah dan diskriminasi seperti ini, apa tidak sebaiknya diubah? Ane jadi teringat ucapan Prof. Rhenald Khasali yang mengatakan bahwa hal-hal seperti ini akan memecah Indonesia dan membuat kita semua kembali hidup bersuku-suku dalam inklusivitas. Bagaimana menurutmu?