Tragedi Berdarah dalam Senyap, Apa yang Sebenarnya Terjadi di Sudan?

Sudan
Apa yang terjadi di Sudan? | Keepo.me

Sudan menghadapi krisis dan instabilitas politik yang tereskalasi hingga terjadi pembantaian

Beberapa minggu belakangan kerap kita lihat foto profil di media sosial berubah menjadi biru tua polos. Bukan tanpa alasan, perubahan foto profil tersebut merupakan bagian dari gerakan #BlueforSudan yang menunjukkan simpati pada korban pembantaian dan kekerasan militer di Sudan yang baru-baru ini terjadi.

Krisis Sudan hingga kini diperkirakan sudah memakan 124 korban jiwa dan 700 lebih korban luka-luka. Berawal dari serangkaian aksi demonstrasi yang dilakukan masyarakat Sudan sejak Desember 2018, kini krisis tereskalasi dengan cepat dan menjadi salah satu bencana kemanusiaan besar di dunia.

Sudan
Krisis di Sudan | Keepo.me

Aksi demonstrasi masyarakat pada mulanya dilakukan untuk meminta Presiden Sudan kala itu, Omar Al-Bashir untuk turun. Keresahan masyarakat dipicu oleh pemerintahan korup dan diktator Omar Al-Bashir selama 30 tahun yang berbuah pada krisis ekonomi dan melonjaknya harga pangan.

Demonstran yang terdiri dari mayoritas anak muda, diorganisir oleh Asosiasi Profesional Sudan. Perempuan banyak mengambil garis terdepan dan melakukan orasi. Protes memuncak pada 6 April saat demonstran menduduki alun-alun di depan pusat militer Sudan.

Baca Juga: Jika Tuntutan Jadi Presiden Tak Dikabulkan MK, Prabowo Desak Pemilu Ulang di 12 Provinsi Ini!

Sudan
Pembantaian di Sudan | Keepo.me

Pada 11 April 2019, militer Sudan mengumumkan pemerintahan Omar Al-Bashir berhasil digulingkan dan militer akan mengambil alih pemerintahan transisi. Demonstran yang merasa pemerintahan harus diserahkan kepada sipil terus melakukan aksi damai melanjutkan tuntutannya.

Sebulan berselang, pihak demonstran dan dewan militer Sudan bersepakat untuk mengadakan masa transisi selama tiga tahun ke pemerintahan sipil dengan struktur pemerintahan baru.

Kesepakatan ini dibatalkan secara tiba-tiba oleh dewan militer Sudan dan mereka memutuskan untuk mengadakan pemilu dalam Sembilan bulan. Pengumuman ini diberikan tak lama setelah insiden kekerasan yang dilakukan kelompok militer Rapid Support Forces atau Janjaweed terhadap demonstran.

Baca Juga: Anies Terbitkan IMB Reklamasi, KIARA : Penyegelan Pulau Reklamasi Cuma Gimik atau Janji Palsu

Sudan
Krisis kemanusiaan di Sudan | Keepo.me

Tentara Rapid Support Forces pada 3 Juni menembakkan peluru dan gas air mata kepada demonstran yang berada di alun-alun sehingga menyebabkan kematian dan luka-luka serius. Tak hanya menembaki demonstran dan masyarakat sipil, tentara RSF juga diduga kuat melakukan pemerkosaan massal terhadap perempuan-perempuan sipil dan personel medis.

Insiden ini dikecam oleh dunia internasional meski hingga kini belum ada tindakan tegas dari negara mana pun untuk menekan militer Sudan. PBB mencopot seluruh staf tidak tetapnya yang berkewarganegaraan Sudan namun belum memberikan sanksi.

Kini Sudan dikontrol penuh oleh tentara RSF yang berpatroli di jalan-jalan dengan kendaraan pick up dan menenteng senjata. Secara berkala mereka menangkapi orang-orang yang tampak seperti ancaman. Mereka pun memberlakukan jam malam dan memutuskan akses internet demi ‘keamanan nasional’.

Artikel Lainnya

Apa yang terjadi di Sudan adalah tragedi yang terjadi dalam senyap. Kematian di negara-negara Afrika memang kerap lebih diwajarkan dari pada kematian di negara maju. Namun tragedi tetap tragedi, dan Sudan membutuhkan lebih banyak perhatian internasional.

Tags :