Sindir Jokowi Agar Tak Berlebihan Atur Dakwah, Muhammadiyah: Perbedaan Paham Itu Wajar
02 Desember 2019 by Titis HaryoPemerintah dinilai sudah terlalu berlebihan atur dakwah dalam Majelis Taklim, Muhammadiyah pun tak tinggal diam.
Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Haedar Nashir meminta pemerintah melalui Menteri Agama tidak terlalu jauh mengatur kegiatan dakwah penceramah dalam majelis taklim.
Hal ini menyusul dikeluarkannya Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 29 Tahun 2019 tentang Majelis Taklim pada 13 November lalu.
Lantas, seperti apa kritikan Muhammadiyah pada kebijakan pemerintah ini?
Muhammadiyah kritik kebijakan soal majelis taklim
Dilansir dari CNNIndonesia.com, Minggu (1/12), PP Muhammadiyah memberikan kritikan terkait pemberlakuan aturan soal majelis taklim yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Baca Juga: Posting Soal Kerjaan Tuai Kontroversi, Netizen Sebut Stafsus Jokowi Billy Cuma Makan Gaji Buta
Nashir merasa jika aturan PMA Nomor 2019 Tahun 2019 bisa menjadi sebuah aturan yang bermasalah karena terlalu memberikan intervensi dalam menjalankan dakwah keagamaan.
“Kalau serba diatur pemerintah secara detail atau berlebihan, nanti aktivitas sosial lainnya seperti gotong royong dan aktivitas sosial di masyarakat luas maupun kegiatan keagamaan lainnya harus diatur pula seperti itu,”
“Tidak boleh ada diskriminasi khusus pada kegiatan keagamaan di lingkungan umat Islam seperti majelis taklim,” jelas Nashir yang disampaikan melalui keterangan tertulis.
Wajar dalam majelis taklim banyak perbedaan
Rencana ingin menekan radikalisme melalui saluran dakwah memang cukup menjadi perhatian khusus pemerintah Presiden Joko Widodo (Jokowi) akhir-akhir ini.
Baca Juga: Tak Ingin Pakai Manusia Lagi, Jokowi Akan Ganti Separuh PNS menjadi Robot!
Namun dengan memunculkan peraturan tentang majelis taklim malah membuat umat Islam mengalami keterbatasan. Hal ini tidak lepas dari keberagaman yang memang selalu muncul dalam majelis taklim.
“Soal perbedaan paham dan pandangan sejak dulu sering terjadi, yang paling penting kembangkan dialog agar masing-masing tidak ekstrem (ghuluw) dalam beragama dan tidak menimbulkan konflik keagamaan,”
Nashir sendiri merasa jika gelora majelis taklim dijalankan dengan benar maka itu bisa menjadi sebuah wadah yang menghidupkan spirit islam yang tinggi dan positif sehingga bisa menangkal ancaman radikalisme.
“Kita sungguh tidak setuju dan menolak segala bentuk radikalisme yang mengarah pada eskrimisme dan membenarkan kekerasan atas nama apapun dan oleh siapapun. Namun semuanya perlu dasar pemikiran, rujukan, cakupan, dan langkah tentang radikalisem yang objektif, komprehensif, serta tidak parsial, dan diskriminatif,” jelas Nashir.
Baca Juga: Gerindra Dukung CPNS LGBT di Kejaksaan Agung, Netizen: Inget Kaum Sodom Min!
Menag sebut aturan Majelis Taklim tidak wajib
Menteri Agama (Menag) Fachrul Razi sendiri sebelumnya mengaku jika aturan PMA Nomor 29 Tahun 2019 tentan Majelis Taklim tidak memiliki sifat wajib.
“Sebenarnya kita tidak mewajibkan,” ungkap Fachrul dalam acara Forum Alumni Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia, Sabtu (30/11).
Meskipun begitu, aturan PMA Nomor 29 dalam pasal 6 ayat 1 menyebutkan jika majelis taklim harus terdaftar.
Dia pun berkelit jika aturan kewajiban tersebut agar pemerintah bisa memantau intensif terkait penyaluran dana pada sejumlah majelis taklim yang tersebar di Indonesia.
“Selama ini kan majelis taklim ada yang minta bantuan. Ada event besar, minta bantuan. Gimana kita mau bantu kalau data majelis taklim (tidak tahu) dari mana?,”
Sikap pemerintah yang sedang begitu sensitif pada paham radikalisme yang kini mulai berkembang menjadi aksi ekstrimisme dan terorisme memang mempengaruhi sejumlah kebijakan.
Salah satunya aturan PMA Nomor 29 Tahun 2019 yang dikeluarkan Menteri Agama dibawah komando eks Jenderal TNI Fachrul Razi.
Sayangnya, kebijakan ini mendapatkan sorotan tajam dari PP Muhammadiyah karena dinilai bisa menjadi sumbu pemicu kemunculan konflik keagamaan pada majelis taklim.