Sesumbar Tak Percaya Covid, IDI: dr Lois Sudah Lama Kadaluarsa Keanggotaannya
13 Juli 2021 by Fachrizal HutabaratSeorang perempuan bernama dokter Lois Owen mengeluarkan sebuah pernyataan kontroversial yang meresahkan publik.
Seorang perempuan bernama dokter Lois Owen mengeluarkan sebuah pernyataan kontroversial yang meresahkan publik. Ia sesumbar tidak mempercayai adanya pandemi Covid-19. Dokter itu, dalam sebuah acara talkshow, meyakini bahwa pasien-pasien yang telah berguguran selama ini bukanlah disebabkan karena virus corona, melainkan karena adanya interaksi obat yang berlebihan.
Lebih lanjut, Lois meyakini bahwa obat-obatan yang digunakan untuk pasien Covid-19 telah menimbulkan komplikasi di dalam tubuh. Ia juga mengatakan bahwa orang-orang yang dikubur dengan protokoler kesehatan itu meninggal dunia bukan karena virus corona, melainkan interaksi antara obat.
"Interaksi antar obat. Kalau buka data di rumah sakit, itu pemberian obatnya lebih dari enam macam," kata dokter Lois pada acara talkshow Hotman Paris dan dalam akun media sosialnya, seperti yang diviralkan oleh dokter Tirta dan dikutip dari Kompas pada Selasa (12/7).
Selain itu, dr Louis dalam unggahan media sosialnya juga pernah berkomentar suatu pernyataan yang menimbulkan kontroversi lainnya.
Baca Juga: Nostalgia Potret Emak-Emak Era 80-an, Netizen: Kesederhanaan yang Mendamaikan
"Tidak tahukah bahwa obat antivirus, azithromycin, metformin, obat TB dapat menyebabkan asidosis laktat??? Double dosis dan interaksi antar obat menyebabkan mortalitas asidosis laktat?? Jangan protes tentang obat ke saya kalau ilmunya gak nyampe!!"
"Cuma karena kurang vitamin dan mineral, lansia diperlakukan seperti penjahat?? Covid19 bukan virus dan tidak menular!!!!"
Menanggapi pernyataan kontroversial ini, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menegaskan dokter Lois Owien sudah lama tidak terdaftar dalam keanggotaan IDI. Keanggotaannya sudah lama kadaluarsa.
"Keanggotaannya sudah lama kedaluwarsa," ujar Daeng seperti yang dikutip dari Kompas.com, Senin (12/7).
Selain itu, dikutip dari akun Instagram pribadi dr Tirta Mandira Hudhi menyebut bahwa dr Lois tidak terdaftar sebagai anggota IDI. Menurutnya, agar dapat diakui sebagai dokter yang sah di Indonesia, setiap dokter harus terdaftar terlebih dahulu di IDI.
"Di mana, seperti diketahui semua dokter di Indonesia harus tergabung dan terdaftar sebagai anggota IDI" ungkapnya.
Menurut Dr. Tirta, dr Lois memang menyebarkan info-info yang menurutnya tidak masuk akal.
"Ibu Lois ini mengaku sebagai dokter. Setelah dikonfirmasi ke Ketua IDI Pusat dan Ketua MKEK. Beliau mengatakan bahwa dokter Lois tidak terdaftar di anggota IDI," ujar Tirta.
Tirta juga mengatakan bahwa surat tanda registrasi (STR) milik dr Lois sudah tidak aktif sejak 2017.
"Status dokternya dipertanyakan. STR beliau tidak aktif sejak 2017," ujar Tirta.
Seperti diketahui, surat tanda registrasi (STR) merupakan bukti tertulis yang diberikan oleh pemerintah kepada tenaga kesehatan.
Baca Juga: Cara Screenshot di Laptop atau PC Windows dan MacBook
Lantas apakah benar interaksi obat, seperti disampaikan dr Lois, dapat menyebabkan kematian pada pasien Covid-19?
Menurut Guru Besar Fakultas Farmasi UGM, Prof. Dr. Zullies Ikawati, Apt, saat dihubungi Kompas.com, seperti yang dikutip dari Kompas.com Senin (12/7), menjelaskan bahwa interaksi obat adalah adanya pengaruh suatu obat terhadap efek obat lain, ketika digunakan bersama-sama pada seorang pasien.
"Interaksi obat itu memang sangat mungkin dijumpai. Bahkan, orang dengan satu penyakit saja, rata-rata ada yang membutuhkan lebih dari satu macam obat," kata Prof Zullies.
Terkait pernyataan dr Lois yang menyebut interaksi obat menjadi penyebab kematian pasien Covid-19, Prof Zullies menekankan bahwa tidak semua interaksi obat itu berbahaya atau merugikan. Karena sifat interaksi itu bisa bersifat sinergis atau antagonis, bisa meningkatkan, atau mengurangi efek obat lain.
"Interaksi obat juga ada yang menguntungkan, dan ada yang merugikan. Jadi tidak bisa digeneralisir, dan harus dikaji secara individual," ucap Prof Zullies.
Pada pasien dengan hipertensi, misalnya. Meski merupakan satu jenis penyakit, namun terkadang membutuhkan lebih dari satu obat, apabila satu obat tidak dapat memberi efek kontrol pada penyakit tersebut. Seringkali penderita hipertensi menerima dua atau tiga jenis obat anti hipertensi.
"Artinya, ini ada interaksi obat yang terjadi, tetapi yang terjadi itu adalah interaksi obat yang menguntungkan. Tapi tentu, pilihan obat yang akan dikombinasikan juga ada dasarnya, paling tidak mekanismenya mungkin berbeda," papar Prof Zullies.
Kendati demikian, Prof Zullies mengatakan bahwa ketika tambahan obat yang diberikan semakin banyak, maka masing-masing akan memiliki risiko efek samping obat. Sehingga, hal ini pun akan selalu menjadi pertimbangan dokter dalam meresepkan obat pada pasiennya.