Pelecehan Seksual di Institusi Pendidikan Tinggi, Pembiaran Demi Nama Baik Kampus?
17 Maret 2019 by Talitha FredlinaKampus tidak menganggap pelecehan seksual sebagai pelanggaran berat
Sejak maraknya kasus pelecehan yang dilakukan oleh dosen FISIPOL UGM berinisial EH, fenomena pelecehan seksual di lingkungan kampus menjadi sorotan masyarakat serta media. Pasalnya, pelecehan seksual yang banyak terjadi di institusi pendidikan ini kerap sulit diproses secara adil karena satu dan lain hal.
Kasus EH sendiri yang sudah menjadi berita nasional dan disoroti oleh The Jakarta Post nyatanya tidak lantas segera berakhir dengan pemecatan beliau dari kampus.
EH diberi sanksi berupa larangan mengajar serta membimbing skripsi, namun ia masih boleh berada di lingkungan kampus dan bahkan masih memegang jabatan lain di luar fakultas. Hingga kejadian pelecehan serupa berulang untuk kedua kalinya baru ia dicopot dari semua jabatannya di UGM.
Meski begitu, dilansir dari Tirto.id, sosoknya masih kerap terlihat di FISIPOL UGM. Tentu saja hal ini mengusik keamanan dan kenyamanan mahasiswi, terlebih mereka yang pernah menjadi korbannya.
Alotnya penyelesaian kasus pelecehan seksual di kampus ini tidak hanya terjadi di UGM. Berbagai akademisi di kampus-kampus lain pun mengakui tentang pelecehan seksual dan oknum dosen mesum yang ada di kampusnya.
Lalu mengapa kampus begitu enggan untuk menyelesaikan perkara seperti ini? Bukankah kampus bertujuan mencetak generasi terdidik yang akan berkontribusi positif dalam masyarakat? Apakah pelaku pelecehan seksual memenuhi kriteria tersebut?
Dilansir dari Tirto.id, keengganan kampus ini bersumber dari ketiadaan regulasi terkait pelecehan seksual di kampus. Tidak ada hukum yang mengatur untuk memberi ganjaran berat bagi pelaku pelecehan seksual.
Kementerian riset, teknologi dan pendidikan tinggi pun ternyata tidak dapat banyak membantu bagi penetapan regulasi terkait pelecehan seksual tersebut.
“Dalam institusi pendidikan, kami harapkan perguruan tinggi menyelesaikannya. Tapi, kalau dalam hal tertentu dipandang kami perlu—harus (ikut terlibat), kami bisa saja gitu,” dalih Ismunandar, selaku Dirjen Pembelajaran dan Kemahasiswaan, seperti dilansir dari Vice Indonesia.
Sistem perguruan tinggi, menurut Ismunandar, bersifat otonom sehingga kampus menetapkan regulasinya sendiri terlepas dari Kemristek Dikti. Sehingga penyelesaian kasus pelecehan seksual sepenuhnya berada dalam otoritas kampus.
Sayangnya, pelecehan seksual masih kerap dianggap bukan pelanggaran berat dalam kampus. Sanksi yang diberikan pun biasanya hanya berupa pembatasan dalam kegiatan mengajar. Korban pelecehan seksual pun jarang sekali diberi penanganan.
Kampus pun tidak memiliki badan atau wadah khusus untuk pelaporan kasus pelecehan seksual. Padahal peristiwa pelecehan seksual ini sangat rawan terjadi di lingkungan kampus karena adanya relasi kuasa antara dosen dan mahasiswa.
Sehingga ketika kampus tidak tegas dalam menangani hal ini, pembiaran tersebut dikhawatirkan akan berujung pada maraknya pelecehan seksual di institusi pendidikan tinggi.