‘Nyanyikan’ Orasi yang Dianggap Hina TNI, Robertus Robet Diciduk Polisi. Ancaman Terhadap Demokrasi?
08 Maret 2019 by Talitha FredlinaSejauh apa kebebasan berpendapat harus dilindungi?
Kamis, 6 Maret 2019 lalu Dosen Sosiologi Universitas Negeri Jakarta, Robertus Robet diciduk oleh kepolisian akibat beredarnya video orasi dirinya mengkritik isu pengembalian dwifungsi TNI.
Dalam video yang tersebar itu Robertus terlihat menyanyikan Mars TNI yang diplesetkan dan mengkritik keras kebijakan dwifungsi TNI di zaman orde baru. Video orasi Robertus Robet pada tanggal 28 Februari 2019 lalu itu diduga sebagai bentuk penghinaan terhadap institusi TNI.
Namun selepas menjalani pemeriksaan di Bareskrim, Robertus memohon maaf kepada TNI dan mengklarifikasi bahwa orasinya tersebut tidak bermaksud menghina institusi tersebut. Dilansir dari Suara.com, video klarifikasi tersebut disampaikan pada Suara lewat pesan di Whatsapp.
Berdasarkan video tersebut, Robertus menyebut lagu dan orasi itu merupakan bentuk kritik terhadap ABRI di masa lampau dan bukan yang ada di masa sekarang. Ia menyebut bahwa dirinya justru mengapresiasi kinerja TNI dalam mewujudkan reformasi di institusi tersebut.
Penetapan Robertus sebagai tersangka ini menurut kepala divisi humas Polri, Brigjen Pol Dedi Prasetyo, didasarkan pada pasal 207 KUHP mengenai hinaan terhadap penguasa atau badan hukum. Dari pasal tersebut, Robertus bisa mendapatkan ancaman penjara paling lama satu tahun enam bulan.
Robertus sendiri sudah ditetapkan sebagai tersangka dan masih berada dalam jerat hukum meski ia telah dipulangkan pasca pemeriksaan. Penangkapan Robertus sendiri menurut Dedi sudah sesuai dengan prosedur dan hukum yang ada.
Penangkapan Robertus ini namun menuai tanggapan dari berbagai pihak, salah satunya adalah Tim Advokasi Kebebasan Berekspresi yang merupakan koalisi dari berbagai LSM. Menurut mereka, penangkapan terhadap Robertus ini merupakan ancaman terhadap kebebasan sipil di negara demokrasi.
Kepala staf kepresidenan, Moeldoko, dilansir dari Liputan6 menyatakan bahwa meski di negara demokrasi, mengemukakan pendapat pun ada aturannya sendiri dan tidak bisa semaunya.
Sedangkan Polri sendiri melalui Dedi sudah menyatakan tidak bermasalah dengan pengemukaan pendapat di depan umum selama mematuhi aturan yakni pasal 6 Undang-Undang nomor 9 tahun 1998. Orasi Robertus dinilai oleh kepolisian mengandung narasi yang mengganggu sehingga dikenakan pasal 207 KUHP.
Persoalan kebebasan berbicara dan mengemukakan pendapat ini memang menjadi isu yang meresahkan belakangan ini. Dengan kian banyaknya penangkapan sosok akibat mengkritisi, berkomentar atau berpendapat, kita jadi kembali mempertanyakan asas demokrasi di Indonesia.
Di sisi lain, kita juga mafhum bahwa tidak semua orang mengeluarkan pendapatnya dan mengkritik dengan santun. Ujaran kebencian makin sering kita temukan dan meresahkan bagi masyarakat luas.
Lalu bagaimana menengahi dua tuntutan ini? Sampai mana kebebasan berpendapat dan berekspresi bisa diakomodasi? Bagaimana menurutmu?