Kapal China Serbu Natuna Lagi Usai Jokowi Pergi. Katanya Sahabat, Tapi Kok Gitu?

Kapal China Serbu Natuna Lagi Usai Jokowi Pergi, Katanya Sahabat Tapi Kok Gitu?
Ilustrasi: Kapal China Serbu Natuna Lagi. | keepo.me

Sahabat tapi hobinya nyuri ikan dan ganggu kedaulatan?

Presiden Joko Widodo (Jokowi) belum lama ini turun langsung ke perairan Natuna untuk menunjukkan ketegasannya kepada China bahwa wilayah tersebut adalah bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Kehadiran Jokowi pun berhasil membuat kapal China yang terdiri dari Coast Guard dan kapal penangkap ikan kabur. Namun bukannya kapok, kapal-kapal China kembali menyerbu Natuna bahkan dengan armada yang lebih banyak setelah Jokowi pergi dari sana.

Lantas, apakah Indonesia yang katanya negara sahabat tak ada lagi artinya di mata China?

1.

Kapal China serbu Natuna lagi

Kapal China Serbu Natuna Lagi Usai Jokowi Pergi, Katanya Sahabat Tapi Kok Gitu?
Kapal Coast Guard China terlihat kembali ke Laut Natuna, Sabtu (11/1/2020). | kumparan.com

Puluhan kapal China terlihat kembali mendatangi perairan Natuna pada Sabtu, 11 Januari 2020 lalu. Padahal sebelumnya keberadaan kapal-kapal tersebut sudah hilang dari peredaran.

Hal ini tidak lepas dari kehadiran Presiden Jokowi yang turun langsung ke Natuna pada Rabu (8/1) untuk menyatakan sikap tegas kepada pemerintahan China yang sudah melanggar batas kedaulatan Indonesia di Zona Ekonomi Eksklusif Natuna.

Baca Juga: Geger Keraton Agung Sejagat Purworejo, Klaim Pimpin Dunia dan Kuasai Pentagon!

Ternyata kehadiran Jokowi ini tak terlalu memberikan efek jera pada China, mereka terus saja melanggar batas wilayah yang diklaim sebagai wilayah Laut Cina Selatan.

Berdasarkan hasil pantauan KRI Usam Harun-359 bersama dengan KRI Jhon Lie-358, tercatatcatat ada 49 kapal nelayan pukat China, enam kapal Coast Guard China, dan satu kapal pengawas perikanan pemerintahan China yang kembali datang ke Natuna.

Jumlah ini diduga malah semakin banyak dibandingkan temuan pada akhir Desember 2019 serta awal Januari 2020 lalu dimana hanya ada satu atau dua kapal saja.

Pemerintah sendiri sejatinya sudah melancarkan aksi diplomasi dengan pernyataan keras dari Kementerian Luar Negeri kepada pemerintahan China. Bahkan, duta besar China di Indonesia sempat dipanggil untuk menyelesaikan konflik ini.

TNI lewat Panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Pangkogabwilhan) I Laksamana Madya Yudo Margono juga turut membantah jika puluhan kapal China yang datang lagi adalah untuk melakukan aktivitas pencurian ikan seperti sebelumnya.

Dilansir dari Detik.com, Minggu (12/1), Yudo menduga jika kembalinya kapal-kapal China tersebut karena ada yang tertinggal di Laut Natuna.

“(Benar) Bahwa masih ada kapal ikan karena kemungkinan ada yang ketinggalan dan sekarang (kapal China) posisinya makin menjauh 60 NM ke Utara batas terluar ZEEI (Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia),” tegasnya.

Baca Juga: Dituntut Mundur Usai Banjir Jakarta, Ratusan Massa Gelar Demo Bela Anies di Balkot!

2.

Benarkah China sahabat Indonesia?

Kapal China Serbu Natuna Lagi Usai Jokowi Pergi, Katanya Sahabat Tapi Kok Gitu?
Presiden Jokowi saat melakukan hubungan bilateral dengan Presiden China Xi Jin Ping di KTT G20, Jepang, 2019 lalu. | nasional.kompas.com

Langkah diplomasi yang diambil Indonesia dalam mengatasi ketegangan di Natuna dengan pemerintahan China memang sempat menjadi pertanyaan besar karena dinilai kurang tegas.

Belum lagi, sikap ‘lembek’ itu diperkuat dengan pernyataan Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto yang menegaskan bahwa langkah damai harus jadi yang paling utama karena China adalah negeri sahabat.

“Ya saya kira kita harus selesaikan (masalah Natuna) dengan baik. Bagaimanapun China adalah negara sahabat,” ucap Prabowo di Kantor Kemenko Kemaritiman dan Investasi, Jum’at (3/1/2020).

Sayangnya dengan tidak digubrisnya peringatan keras lewat diplomasi pemerintah ini malah semakin menunjukkan bahwa sebenarnya China bukan sahabat dari Indonesia.

Hal itu juga semakin kentara ketika banyak kapal China kembali ke Natuna setelah Jokowi pergi. Seakan-akan, kehadiran Jokowi benar-benar tak ada artinya dan hanya bahan bercandaan belaka bagi China.

Predikat ‘sahabat’ yang disematkan pada China juga sepertinya tak lebih karena royalnya negeri Tirai Bambu dalam memberikan bantuan pendanaan bagi Indonesia untuk membangun infrastruktur negeri.

Baca Juga: Jokowi Pulang, Benarkah Kapal China Kembali dan Makin Banyak di Natuna?

Tengok saja utang Indonesia pada China yang kali ini cukup meningkat di akhir tahun 2019.

Dilansir dari Kompas.com, Sabtu (4/1), data statistik utang luar neger Indonesia (SULNI) yang dirilis Bank Indonesia pada periode September 2019 menunjukkan jumlah sebesar 17.75 miliar dollar AS atau Rp 274 triliun.

Jumlah utang tersebut mengalami peningkatan dibandingkan dengan periode Agustus 2019 yang mencatat utang Indonesia hanya sebesar 17,09 miliar dollar AS saja.

Tekanan ekonomi ini sepertinya yang menjadi alasan Indonesia masih tak berani menyatakan sikap yang lebih tegas kepada China terkait konflik di Natuna.

Pengamat hubungan internasional Dinna Wisnu pun menyatakan hal serupa. Dia menilai, China sudah menduga bahwa Indonesia tidak akan berani mengambil sikap tegas dalam menangani Natuna.

“Penggentaran yang dilakukan oleh Pak Jokowi, ini kan upaya penggentaran yang ternyata tak berhasil. Karena China sudah bisa mengukur Indonesia pada dasarnya tidak ingin ada perang,” jelasnya dikutip dari CNN Indonesia.

Sentimen utang Indonesia pada China ini juga sepertinya menjadi tekanan berat.

Bayangkan saja jika kita diganggu oleh orang yang kita punyai utang. Bisa saja mereka bersikap like a boss.

Mereka memiliki celah untuk bisa membuat kita merasa lebih kecil dan tak berdaya. Sepertinya cara ini yang sedang dimanfaatkan China dalam konflik Natuna.

3.

Sikap tegas harus lebih ditunjukkan kepada China

Kapal China Serbu Natuna Lagi Usai Jokowi Pergi, Katanya Sahabat Tapi Kok Gitu?
Presiden Jokowi saat berada diatas kapal perang TNI AL, KRI Imam Bonjol 383. | tirto.id

Indonesia harus memiliki sikap yang lebih tegas kepada China setelah peringatan dari Presiden Jokowi tidak juga diindahkan terkait situasi Natuna.

Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara berpendapat jika sikap ‘lembek’ Indonesia ini terus ditunjukkan malah bisa berdampak buruk pada aliran investasi China.

“Takutnya kalau engga tegas nanti akan ada sentimen anti China, Itu akan mengganggu jalannya investasi China yang ada di Indonesia,” ucapnya.

Bhima sendiri merasa sikap tegas yang lebih keras malah bisa memberikan dampak lebih baik pada sektor investasi di masa depan.

“Lebih baik memang krisis ini segera diredam dengan jalan yang memang keras. Itu enggak apa-apa,”

Langkah keras yang dimaksud oleh Bhima pun berupa nota protes hingga yang cukup ekstrem adalah pernyataan perang dagang pada China.

“(Protes klaim Laut China Selatan) juga dilakukan juga sama negara lain, misalnya Vietnam. Tapi investasi Cina ke Vietnam itu makin deras masuknya, apalagi pasca perang dagang. Begitu juga dengan Filipina,” ujar Bhima.

Bola panas memang sekarang berada di tangan pemerintah Indonesia yang memang masih terlihat begitu gamang untuk menunjukkan sikap tegasnya kepada China.

Beragam pertimbangan seperti lemahnya armada perang hingga jumlah utang yang begitu besar pada China disebut sebagai faktor utamanya.

Namun, memang harus ada langkah yang lebih strategis untuk mengatasi pencurian kekayaan laut di Natuna hingga pelanggaran kedaulatan di ZEEI.

Para menteri juga harus saling berkoordinasi dan memiliki satu suara untuk menunjukkan ketegasan pada China, jangan sampai ada kepentingan lain yang membuat suara dalam pemerintah pecah dan mengorbankan situasi di Natuna.

Artikel Lainnya

Memang kita adalah sahabat dari China, tapi bukan berarti sahabat bisa terus dipermainkan sampai dibikin becandaan yang malah melecehkan kedaulatan NKRI kan.

Jadi, akankah kita selalu jadi sahabat yang dirugikan dan tidak dianggap oleh China?

Tags :