Ijtima Ulama 3 Tuntut Jokowi – Ma’ruf Didiskualifikasi, Apakah Memang Bisa Dilakukan?
02 Mei 2019 by Talitha FredlinaBagaimana aturan diskualifikasi capres dan cawapres?
Bertepatan dengan hari buruh, ijtima ulama 3 akhirnya dilangsungkan. Pertemuan akbar ulama se-Indonesia ini dilangsungkan di Hotel Lorin, Sentul, Bogor, Jawa Barat.
Disebutkan ada 1000 undangan yang disebarkan untuk hadir di acara tersebut. Dilansir dari BBC Indonesia, bukan hanya ulama yang hadir dalam perhelatan tersebut namun juga tokoh masyarakat dan ormas-ormas Islam. Ijtima ini pun dihadiri ahli hukum, pakar IT dan ahli pidana untuk memberikan pandangannya.
Pertemuan ini akhirnya menghasilkan lima poin rekomendasi, dan salah satunya adalah menuntut diskualifikasi pasangan calon nomor urut 01, Jokowi – Ma’ruf Amin. Hal ini disebabkan karena adanya bukti-bukti kecurangan yang terstruktur, sistematis dan massif menurut simpulan Ijtima Ulama 3.
Lalu, bisakah calon presiden dan wakil presiden didiskualifikasi? Siapa yang berwenang melakukan pembatalan tersebut?
Berdasarkan UU no. 7 tahun 2017, peserta pemilu termasuk capres dan cawapres memang bisa didiskualifikasi jika terbukti melakukan pelanggaran administratif pemilu. Namun syarat untuk mendiskualifikasi cukup berat, yakni pembuktian adanya pelanggaran secara terstruktur, sistematis dan massif (TSM) yang meliputi 50 persen suara.
Aturan ini tertuang dalam pasal 460 dan 463 yang menegaskan sanksi diberikan oleh KPU dan dapat berupa pembatalan calon presiden dan wakil presiden. Berikut pasal yang dapat digunakan.
UU No. 7 Tahun 2017 Pasal 460:
(1) Pelanggaran administratif Pemilu meliputi pelanggaran terhadap tata cara, prosedur, atau mekanisme yang berkaitan dengan administrasi pelaksanaan Pemilu dalam setiap tahapan Penyelenggaraan Pemilu.
(2) Pelanggaran administratif sebagaimana dimaksud ayat (1) tidak termasuk tindak pidana Pemilu pelanggaran kode etik.
UU No. 7 Tahun 2017 Pasal 463:
(1) Dalam hal terjadi pelanggaran administratif Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 460 yang terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif, Bawaslu menerima, memeriksa, dan merekomendasikan pelanggaran administratif Pemilu dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja.
(2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan secara terbuka dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) KPU wajib menindakLanjuti putusan Bawaslu dengan menerbitkan keputusan KPU dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak diterbitkannya putusan Bawaslu.
(4) Keputusan KPU sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat berupa sanksi administratif pembatalan calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, dan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden.
Calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, dan Pasangan Calon yang dikenai sanksi administratif pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat mengajukan upaya hukr.rm ke Mahkamah Agung dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak kepuhrsan KPU ditetapkan.
(6) Mahkamah Agung memutus upaya hukum pelanggaran administratif Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak berkas perkara diterima oleh Mahkamah Agung.
(7) Dalam hal putusan Mahkamah Agung membatalkan keputusan KPU sebagaimana dimaksud pada ayat (5), KPU wajib menetapkan kembali sebagai calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, dan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden.
(8) Putusan Mahkamah Agung bersifat final dan mengikat.
Kedua pasal tersebut menegaskan bahwa pelanggaran administratif pemilu dapat berakibat fatal jika memang benar terbukti. Kini kembali pada BPN untuk mengumpulkan dan mendata bukti secara rinci dan mengajukannya pada pihak Bawaslu dan KPU.
Lalu, akankah pihak Jokowi – Ma’ruf terdiskualifikasi karena tudingan kecurangan ini?