Dua Wajah Jakarta: Beri Penghargaan Diskotek Hingga Jadi Calon Wisata Terbesar Umat?
18 Desember 2019 by Titis HaryoBeri penghargaan diskotek sampai jadi calon wisata umat terbesar, mana yang jadi wajah Jakarta ke depan ya?
Ibu kota DKI Jakarta terus mendapatkan sorotan akhir-akhir ini, salah satu yang menghebohkan adalah penghargaan Adhi Karyawisata 2019 yang diberikan pada diskotek Colosseum hingga dicap sebagai ‘maksiat friendly’.
Padahal sebelumnya sebuah acara religius terakbar di Indonesia juga digelar oleh umat di kawasan Monas. Bahkan, saking megahnya acara reuni umat tersebut membuat salah satu pemuka agama mengklaim bisa dimasukkan dalam kalender wisata Islam.
Lalu, sebenarnya wajah seperti apa yang mau ditampilkan oleh Jakarta di masa depan ya?
Bola panas Djakarta Warehouse Project
Ormas Front Pembela Islam (FPI) belum lama ini mencap pemerintah provinsi (Pemprov) DKI Jakarta sebagai pembuat kebijakan yang bersahabat dengan kemaksiatan.
Hal ini dilontarkan kelompok yang dipimpin oleh Habib Rizieq Shihab itu lantaran adanya pemberian izin acara electronic music dance (EDM) terbesar di Indonesia, yakni Djakarta Warehouse Project.
Baca Juga: Habib Husein Alatas Ditangkap, Polisi: Cabuli Pasien Saat Pingsan
Mereka menilai acara tersebut hanyalah kemaksiatan yang berkedok sebagai hiburan dan memiliki potensi merusak anak muda dengan banyaknya aksi mempertontonkan aurat hingga konsumsi minuman haram.
“Pertama, izin terhadap kegiatan di dalamnya terdapat atau memfasilitasi dan memberi peluang terjadinya berbagai maksiat. Namun, berkedok wisata hiburan, termasuk penyelenggaraan Djakarta Warehouse Project,” bunyi pernyataan sikap tertulis FPI yang disampaikan oleh Sekretaris Umum FPI, Munarman dikutip dari Detik.com, Senin (16/12).
Pemberian izin acara DWP yang memang selalu banyak dihadiri anak muda tiap tahunnya juga disebut tidak memiliki andil dalam membentuk masyarakat Jakarta yang beriman dan bertakwa.
Bahkan agar bisa mengganggu jalannya gelaran acara, massa gabungan dari sejumlah ormas Islam kerap melakukan aksi demo di sekitar kawasan JIExpo Kemayoran dimana DWP digelar.
Sayangnya, aksi demo itu berjalan sia-sia karena kelengkapan izin yang didapatkan penyelenggara DWP membuat acara itu memiliki legalitas yang sah sehingga mendapatkan perlindungan hukum yang jelas.
Baca Juga: Pemprov DKI Cabut Penghargaan Adhi Karyawisata Diskotek Colosseum, FPI: Alhamdulillah!
Massa aksi yang menuntut agar DWP dihentikan pun akhirnya menyerah dan acara musik tersebut tetap berjalan lancar dengan total pengunjung yang mencapai puluhan ribu anak muda.
Padahal jika dilihat secara nilai ekonomis, acara semacam DWP bisa memberikan pemasukan yang begitu besar pada DKI Jakarta.
Seperti yang disampaikan oleh Pelaksana Tugas (Plt) Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta Alberto Ali jika DWP bisa menyumbang lebih dari Rp 15 miliar bila digelar selama 4 hari.
Angka ini didapat dengan melihat sumbangan pajak DWP tahun 2017 yang saat itu mencapai angka Rp 10 miliar.
“(Tahun) 2017 untuk pajak minum tadi sebesar Rp 2,5 miliar dengan penyelenggaraan dua hari dan untuk hiburna yang kurang lebih Rp 7,5 miliar. Dengan penyelenggaraan dua hari (maka) sebesar Rp 10 miliar,” ucap Alberto saat konferensi pers terkait izin DWP di Balai Kota, Jakarta, Jum’at (13/12).
Melihat angka yang cukup fantastis itu, tentu pemerintah DKI Jakarta memang tidak bisa mengesampingkan pendapatan dari acara DWP karena hal ini menjadi salah satu sumber pendapatan besar pemerintah daerah.
Baca Juga: Anies Izinkan DWP dan Dukung Diskotek, FPI: Kami Sarankan Konsultasi ke Alim Ulama!
Penghargaan diskotek Colosseum
Cap ‘maksiat friendly’ pada Jakarta juga semakin gencar setelah Pemprov DKI melalui Dinas Pariwisata dan Kebudayaan memberikan penghargaan Adhi Karyawisata 2019 pada diskotek Colosseum.
Sanjungan pada tempat yang sarat dengan dunia malam dan ‘party sampai pagi’ itu pun lagi-lagi jadi pemantik ormas Islam di Jakarta bereaksi keras. Ultimatum pun dilayangkan pada Gubernur Anies Baswedan jika tidak melakukan evaluasi secepatnya.
Menurut FPI, keputusan penghargaan Adhi Karyawisata pada Colosseum juga dinilai sebagai hal yang hanya mementingkan hasrat duniawi, tanpa memperhatikan kemaslahatan umat.
“Umat Islam DKI Jakarta menjatuhkan pilihan kepada Anda (Anies Baswedan) saat Pemilihan Gubernur tahun 2017 yang lalu, karena Umat Islam Jakarta menginginkan ada perubahan mendasar orientasi pembangunan dari yang semata-mata mengejar pertumbuhan ekonomi, PAD yang tinggi, kehidupan dunia yang glamor, diubah menjadi indeks pembangunan yang lebih mengedepankan aspek kehidupan yang religius, takut kepada Allah dan nyaman bagi umat semua agama,” tegas FPI.
Baca Juga: Gandeng Cucu Menyebrang Jalan, Nenek Ini Tewas Ditabrak Harley Ugal-Ugalan!
Tak lama setelah kritikan keras FPI ini disampaikan, Pemprov DKI akhirnya mengevaluasi keputusannya tersebut dan membatalkan Adhi Karyawisata 2019 pada Colosseum.
Lewat Sekretaris Daerah DKI Jakarta Saefullah, Pemprov DKI menyatakan jika telah terjadi masalah dalam penilaian penganugerahan Adhi Karyawisata karena Colosseum dinilai terlibat dalam kasus narkoba pada Oktober 2019 silam.
Evaluasi secepat kilat ini pun dilakukan tidak lebih dari 24 jam setelah surat sertifikat penghargaan yang ditandatangani oleh Gubernur Anies diberikan pada salah satu diskotek terbesar di Jakarta itu.
Namun, keputusan ini cukup riskan diambil oleh Pemprov DKI Jakarta karena bisa mempengaruhi para pegiat usaha diskotek. Belum lagi selama ini kontribusi pajak dari tempat hiburan malam seperti Colosseum memiliki angka yang cukup besar.
Baca Juga: Ingkar Janji Kampanye, Walikota Meksiko Diikat dan Diseret Truk
Berdasarkan data dari Badan Pajak dan Retribusi Daerah yang dikutip dari Tempo.co, Rabu (18/9), pada tahun 2018 Pemprov DKI Jakarta memperoleh pendapatan pajak hiburan mencapai RP 834,52 miliar.
Kontribusi dari diskotek pun diduga cukup signifikan karena saat ini Pemprov DKI Jakarta mencanangkan angka pajak hiburan diskotek sebesar 25%.
Wajah baru wisata umat
Sementara itu, Jakarta sendiri saat ini memang diketahui tengah merias wajahnya sehingga melepaskan kerak-kerak hitam kemaksiatan yang cukup banyak diidentikan dengan kondisi ibu kota.
Salah satu langkah polesan baru ini terlihat dari pemenangan Anies Baswedan dalam kontestasi Pilgub 2017 lalu dimana mantan Menteri Pendidikan itu mengalahkan rival beratnya Basuki Tjahja Purnama.
Sosok Anies pun mendapatkan dukungan penuh dari ormas Islam seperti FPI yang memiliki basis besar di Jakarta. Sejumlah terobosan mengentaskan kemaksiatan dari bumi Jakarta pun sebenarnya sudah terlihat dengan ditutupnya Hotel Alexis yang saat itu diketahui sebagai lokalisasi ‘elite’.
Baca Juga: Demo Tolak DWP Jakarta Panas, Massa Ormas: Anies Pengkhianat Umat Pendukung Maksiat!
Riasan Jakarta sebagai kota yang religius pun semakin kentara dengan maraknya acara keumatan seperti Reuni 212. Meski awalnya sarat akan suasana politik, namun perlahan acara tersebut mulai dicitrakan sebagai ajang pertemuan umat dari seluruh pelosok negeri untuk bersilaturahmi.
Sampai yang terbaru, pada ajang Reuni 212 bulan Desember 2019 lalu, Ustaz Yusuf Mansur menyarankan agar acara yang bertempat di Monas itu bisa dimasukkan dalam kalender wisata tahunan.
Sebuah ide cemerlang yang katanya bisa memberikan gairah ekonomi pada pedagang sekitar dan juga umat Muslim seluruh negeri.
“Reuni 212 bisa jadi kalender tahunan wisata, wisata muslim ASEAN dan dunia. Dijual sebagai kalender world travelling,” ucap Yusuf Mansur dalam unggahannya di Instagram, Senin (2/12).
Baca Juga: Tolak DWP Karena Sumber Maksiat, Gerakan Pemuda Islam: Tiap Tahun Kami Menyusup!
Harapan Yusuf Mansur ini pun diklaim bisa berhasil jika penyelenggara bisa memberikan atraksi tambahan dari para santri serta melengkapi acara tersebut dengan sajian kuliner nusantara.
Belum lagi jika nanti ada tiket masuk yang memang bisa memberikan kontribusi nyata pada pemasukan daerah yang jelas jauh lebih halal dibandingkan acara DWP maupun diskotek.
Sekedar info, pada gelaran Reuni 212 rekor jumlah peserta disebutkan oleh pihak penyelenggara mencapai angka jutaan orang. Angka ini pun sempat diamini juga oleh Gubernur Anies Baswedan yang tak pernah absen dalam acara tersebut.
Jakarta memang selalu menjadi perhatian banyak orang. Wajahnya tak akan pernah bisa satu, seperti sebuah mata uang Jakarta selelu memiliki dua sisi yang berbeda. Entah itu buruk maupun baik.
Namun, jika ada tuntutan ingin mengubah Jakarta menjadi kota yang religius dengan kondisi yang sekarang ini maka bisa dianggap itu adalah hal yang cukup mustahil. Hal ini tidak lepas dari Jakarta yang merupakan ibu kota yang memiliki beragam kultur budaya, bukan satu mayoritas saja.
Pemprov DKI Jakarta pun tidak akan bisa dengan mudahnya melepas acara seperti DWP dan menghentikan diskotek hanya karena alasan kemaksiatan sematan. Banyak hal yang harus dipertimbangkan seperti pendapatan pajak yang menjadi tulang punggung membangun sebuah daerah.
Lalu, wajah seperti apa yang sebenarnya diinginkan Jakarta?