Demo Black Lives Matter di Tengah Pandemi: Lebih Takut Dibunuh Polisi Daripada Covid-19

Aksi Black Lives Matter
Aksi Black Lives Matter | thebolditalic.com

Aksi Black Lives Matter telah menyebar ke berbagai negara.

Aksi unjuk rasa terkait pembunuhan George Floyd oleh anggota kepolisian Minneapolis telah menggurita. Solidaritas yang menggaungkan Black Lives Matter bahkan terdengar di banyak negara di luar Amerika Serikat.

1.

Aksi protes melawan ketidakadilan rasial

Aksi Black Lives Matter
Aksi Black Lives Matter | panow.com

Pandemi Covid-19 secara tidak proporsional berpengaruh pada orang Amerika-Afrika. Dilansir dari Merdeka, populasi orang Amerika-Afrika sekitar 12 persen dari total namun menyumbang lebih dari hampir 26 persen kasus infeksi virus corona, sebagaimana data yang dicatat oleh CDC.

Di samping upaya melawan virus corona, serangkaian pembunuhan orang-orang kulit hitam Amerika terus terjadi yang menandakan ketidakadilan rasial semakin parah. Ahmaud Arbery, ditembak mati oleh petugas keamanan; Breonna Taylor, ditembak delapan kali di rumahnya; dan George Floyd, tewas setelah seorang polisi berlutut di lehernya selama lebih dari delapan menit.

Baca Juga: Usai Kasus George Floyd, Kepolisian Minneapolis Akan Dibubarkan

“Apakah itu Covid-19 yang membunuh kami? Polisi membunuh kami, ekonomi membunuh kami” ujar Priscilla Borker, salah satu peserta aksi unjuk rasa di Brooklyn, dikutip dari Merdeka.

2.

“Saya lebih takut dibunuh polisi”

Aksi Black Lives Matter
Aksi Black Lives Matter | news.sky.com

Melakukan aksi unjuk rasa dengan sedikit peluang untuk menerapkan social distancing, para peserta unjuk rasa mengambil risiko yang sangat besar bagi kesehatan mereka. Meski demikian, ketidakadilan rasial pun harus dilawan dan diakhiri.

“Saya lebih takut dibunuh polisi daripada Covid-19” ungkap Ozzie Lumpkin saat mengikuti aksi unjuk rasa mengenang Ahmaud Arbery.

Baca Juga: Umumkan Kemenangan Atas Corona, Selandia Baru Cabut Semua Pembatasan

“Saya menjadikan olahraga lari sebagai kemerdekaanku. Ketika dia (Ahmaud Arbery) dibunuh, saya merasa sebagian kemerdekaanku direbut” imbuh Lumpkin.

Melihat bagaimana rasisme membunuh orang-orang kulit hitam, diam di rumah bukan lagi pilihan bagi Borker. Ia rela mengambil risiko besar demi menyuarakan ketidakadilan rasial yang terus meluas.

“Kalian bayangkan polisi yang berlutut di leher Floyd! Kalian bayangkan bagaimana warga Amerika menindih orang-orang kulit berwarna!” seru Borker.

Baca Juga: Aduh! Daftar 100 Negara Teraman dari Covid-19 Rilis, Indonesia di Urutan 97

“Dan kemudian apakah kami harus diam di rumah atau memikirkan risiko keluar ke tempat ini karena krisis Covid atau kami akan tetap dibunuh. Jadi kami tak masalah mengambil risiko ini” tambahnya.

3.

Momen perlawanan yang berbeda

Aksi Black Lives Matter
Aksi Black Lives Matter | www.aljazeera.com

Para peserta unjuk rasa menyebut momen kali ini berbeda karena ada masalah kesehatan dan ekonomi terkait pandemi Covid-19, tindakan keras polisi terhadap para polisi terhadap pengunjuk rasa, serta kicauan Donald Trump yang menyebut demonstran sebagai “preman”. Akibatnya, ketegangan pun kian memuncak.

“Sebenarnya ada perang saudara yang sedang terjadi. Supremasi kulit putih sekarang berada di atas tanah dan beroperasi di siang bolong dan didorong oleh presiden kita dan Gedung Putih” ujar Alicia Garza, pendiri Black Futures Lab dan penyelenggara keadilan rasial.

Garza menyebut militerisasi polisi, laporan agitator supremasi kulit putih yang menyusup ke aksi demonstran damai, dan kebangkitan nasionalisme kulit putih sudah mengubah pertarungan.

Artikel Lainnya

Aksi unjuk rasa di berbagai wilayah di Amerika Serikat mendapat sorotan besar yang akhirnya membuka mata banyak orang tentang ketidakadilan rasial yang masih terus terjadi hingga saat ini

Tags :