Absurdnya Warga +62 Hadapi Corona, Konspirasi dan Agama pun Jadi Senjata!
17 Maret 2020 by Boy N.Apa sih sumber terbesar ketakutan manusia? Kemiskinan? Penyakit? Kematian?
Ya, bisa jadi semua itu benar. Namun, lebih menakutkan lagi ialah saat menghadapi atau mengalami sesuatu yang belum atau tidak dipahami. Sesuatu yang tidak terjelaskan karena informasi-informasinya begitu cepat berubah, banyak bias, dan sering diselimuti kebohongan-kebohongan bombastis alias hoaks.
"Corona itu Konspirasi, Tenang Saja.."
Sekitar seminggu lalu, sewaktu dapat tugas jaga pos ronda di kampung, saya bersama beberapa warga menyimak siaran televisi yang mewartakan ancaman pandemi Corona atau COVID-19 di dunia, termasuk negara kita tercinta.
Di sela-sela obrolan kami sembari memantengi kotak mungil dalam gardu, terdengar celetukan salah satu rekan ronda saya, seorang kakek-kakek. “Halah, itu 'kan virus buatan China, bikin perkara aja dibawa-bawa ke sini.”
Peserta ronda yang lain mengiyakannya sambil mengomel dan menambahkan bahwa sebenarnya obatnya sudah ada, tinggal menunggu saja kalau kira-kira target mengurangi penduduk dunia sudah tercapai.
Baca Juga: Indonesia Positif Corona, Masker Sampai Empon-Empon Ludes Diborong. Warga +62 Kenapa Sih?
Omongan-omongan semacam itu saya anggap lalu karena selain malas menanggapi karena bakal berbuntut panjang, sepertinya kok lebih bijak untuk diam mendengarkan ujaran para sesepuh kampung tersebut.
Hari-hari berikutnya saya lalui bersama perkembangan berita terbaru tentang COVID-19 yang semakin merajalela di banyak negara dan dugaan adanya pasien positif di wilayah kami. Di luar sana, hampir segalanya nampak normal, cuaca cerah, kadang mendung, aliran sungai-sungai yang deras, kendaraan lalu lalang, tapi orang-orang dianjurkan (atau sebagian mungkin merasa dipaksa) untuk memindah aktivitas hariannya di dalam rumah. Himbauan untuk bekerja atau belajar di rumah dari pemerintah merupakan upaya membendung laju persebaran virus mematikan COVID-19.
Baca Juga: Gara-Gara Tabligh Akbar, Jumlah Kasus Corona di Malaysia Melonjak hingga 190 Kasus Baru!
Sementara itu, bermacam teori konspirasi pun berseliweran dari dunia maya berpindah ke obrolan-obrolan warga di wilayah yang notabene tidak (dan semoga jangan) terkena virus itu. Mempercayai virus sebagai senjata biologis untuk memporak porandakan tatanan dunia merupakan salah satu cerita yang disukai. Menurut teori tersebut, virus ini sengaja dikirim militer Amerika Serikat ke Wuhan, China.
Teori konspirasi memang selalu disukai sebagai alat (yang tidak valid) untuk merasa sudah memahami sesuatu. Orang yang meyakininya cenderung merasa baik-baik saja karena beranggapan semua hanya setting-an dan dia bukan bagian dari ranah konspirasi tersebut. Atau, kalau apa yang disebutkan dalam teori konspirasi itu ditujukan untuk mengusiknya, maka orang yang bersangkutan harus melawan.
Baca Juga: Ke'santuy'an Warga Indonesia Hadapi Corona dan Bencana Lainnya, Perlu Ditiru atau Dikritik?
"Jangan Takut dengan Virus, Takutlah dengan Tuhan!"
Celetukan di pos ronda tadi justru kembali terngiang saat saya menjumpai sejumlah postingan di grup WA yang intinya kurang lebih sama.
Bahwa kita tidak perlu takut dengan ancaman virus karena semua itu merupakan strategi melumpuhkan umat. Lihat saja, makin banyak larangan untuk beraktivitas di tempat-tempat ibadah di wilayah yang terjangkit virus ini. Kenapa untuk bersalaman sehabis beribadah harus dilarang? Kenapa sekarang cara salamannya harus diubah menjadi seperti gerakan tangan yang menyembah? Pasti ada sesuatu di balik semua kegaduhan yang membikin panik masyarakat ini.
Konyolnya lagi, berbagai tudingan mengarah ke kebijakan meniadakan kegiatan di tempat ibadah di wilayah penyebaran virus, misalnya shalat Jum’at. Alasannya, negara ini dianggap lebih takut sama virus corona daripada Sang Pemilik Dunia. Komentar lain dengan ketus menyebutkan bahwa daftar nyawa manusia yang dicabut itu sudah di tangan Malaikat Izrail, jadi tak perlu cemas hanya karena virus.
Oleh karena itu, cara menghadapi dan melawan virus ini adalah dengan menyerahkannya ke Sang Pencipta. Seruan doa bersama di seluruh penjuru negeri dengan berbagai tuntunan dikumandangkan.
Tentu saja hal itu bagus, dan saya pribadi pun sangat yakin dengan kekuatan doa. Masalahnya, berdoa tanpa berupaya, tanpa berikhtiar, itu tak berbeda dari tindakan seorang pemalas. Parahnya lagi kalau sampai seruan doa bersama itu harus dilakukan di tempat umum yang sangat rentan dengan risiko penularan virus.
Ingat kasus tabligh akbar di Malaysia beberapa waktu lalu yang akhirnya menghasilkan sejumlah jamaah yang positif terkena virus. Nah, lho.
Dan ingat, justru sebagai manusia yang beriman, yang percaya pada Tuhan, sudah ada akal yang dititipkan sebagai mesin berpikir berdasarkan kemampuan. Bukan ngawur atau gegabah, apalagi berisiko mencelakakan manusia lain. Bukankah Tuhan mengajarkan kita untuk berbuat baik ke sesama? Menjadikan agama sebagai rahmat ke seluruh makhluknya? Ya, makanya itu kita jaga dan rawat dong kehidupan di dunia ini bersama-sama!
Lagipula, siapa yang melarang orang untuk beribadah di tengah kepanikan ancaman virus ini? Justru yang dilarang adalah dampak berisiko dari kegiatan yang semestinya dapat dikendalikan manusia sebagai makhluk berakal.
Ibadah masih dapat dilakukan di dalam rumah atau tempat yang aman dari risiko penyebaran virus. Larangan berjabat tangan pun bukan untuk selamanya, dan sudah ada ketentuan fatwa pemuka agaman yang mengaturnya. Hey, bikin fatwa itu bukan asal sembarangan lho. Ngajinya harus jelas, baca kitab-kitabnya pun bukan dari Google atau YouTube. Sudahlah, jadi manusia beragama itu yang waras saja, demi kemaslahatan bersama…
Kalau mau menghadapi dan melawan ancaman pandemi ini bersama-sama, mari kita rawat keimanan dengan meningkatkan kepedulian pada sesama dan lingkungan. Bukan malah memperkeruh situasi dengan pikiran, komentar, dan tindakan-tindakan konyol. Berhentilah membandingkan takut tertular virus dengan takut kepada Tuhan.
Sebagian masyarakat kini mulai menyadari arti kecemasan, kebingungan, dan ancaman kematian yang diakibatkan oleh pandemi ini; risiko keterpisahan dari keluarga, serta rasa keterkurungan akibat isolasi. Memang, tidak semua wilayah Indonesia terancam penyebaran virus ini. Sayangnya, gejala-gejala kepanikan mustahil terbendung dan menyebar di tengah masyarakat.
Kehadiran berbagai teori konspirasi dan pembenaran-pembenaran meremehkan ancaman virus yang mengatasnamakan agama jelas sekali masalah yang serius. Masalahnya itu bukan karena tidak takut kepada Tuhan, tapi justru dengan mengupayakan yang terbaik, kita dapat menyelamatkan lebih banyak nyawa akibat risiko penularan.
Maaf, saya bukan pakar agama, apalagi untuk mengamalkan ajarannya pun masih ngos-ngosan. Namun, perkenankan untuk sedikit mengutip sebuah riwayat hadis berikut.
Seseorang pernah bertanya ke Kanjeng Nabi sewaktu di depan masjid dan akan memarkir untanya. Apakah sebaiknya ia mengikat unta tersebut lalu masuk beribadah ke masjid, atau membiarkannya saja sambil bertawakkal. Apa jawab Kanjeng Nabi? Beliau menjawab; ikatlah dulu untamu itu kemudian baru engkau bertawakkal!
Terima kasih. Semoga kita, dan seisi warga dunia selalu sehat dan segera terbebaskan dari pandemi ini. Amin.