Teror Klitih di Jalanan Jogja, Bukti Gabut Bisa Picu Kejahatan?
10 Februari 2020 by Dea DezellyndaKecil-kecil sudah jadi penjahat, kalau besar mau jadi apa?
Jogja berhati nyaman. Begitulah slogan yang dibangga-banggakan oleh pemerintah DIY. Tapi apakah Jogja memang se-nyaman itu? Bagi para pendatang atau pun wisatawan, Jogja selalu dirindukan banyak orang. Banyak dari mereka yang terus kembali dan kembali lagi untuk berlibur di Jogja yang katanya istimewa.
Tapi sejatinya, Jogja tak senyaman itu. Jogja tak se-aman itu, terlebih bagi para penduduk tetap maupun perantau yang tinggal di Jogja. Tak bisa dipungkiri, dari tahun ke tahun, klitih selalu menjadi momok yang menakutkan bagi penduduk Jogja.
Diketahui klitih sendiri adalah teror yang biasanya dilakukan para bocah SMP atau SMA. Biasanya mereka berkeliling membawa senjata tajam seperti parang, celurit atau pedang katana dengan mencari korban secara acak.
Beberapa hari ini topik klitih mencuat kembali di kalangan masyarakat Jogja bahkan hingga trending di media sosial Twitter. Hampir setiap hari, dilaporkan ada korban kejahatan klitih. Dilihat dari korbannya, ada yang mendapat luka bacok hingga harus dilakukan puluhan jahitan hingga korban meninggal dunia.
Kalau dipikir-pikir, kenapa bocah-bocah ini baru beranjak remaja sudah berani menjadi penjahat? Sebenarnya motif apa dibalik kejahatan klitih? Dan mengapa permasalahan klitih ini tak kunjung bisa diberantas?
Baca Juga: Usai Tembak Mati 29 Orang di Mal karena Masalah Utang, Tentara Thailand Ini Foto Selfie
Klitih itu apa?
Baiklah. Bagi masyarakat yang tidak tinggal di Jogja, kata “Klitih” masih sangat asing. Klitih itu apa? Kita tarik kembali dari awal kemunculan kata klitih. Klitih sendiri pada zaman dahulu jauh dari stigma menyeramkan. Justru klitih itu adalah ajakan untuk berburu barang bekas di pasar Klitikan. “Nglitih yuk!” berarti mengajak jalan-jalan ke pasar Klitikan. Sudah itu saja. Nggak ada itu yang namanya ke pasar klitikan untuk mbacok orang.
Namun seiring berkembangnya zaman, arti kata klitih mengalami pergeseran menjadi stigma yang menakutkan. Bagi anak muda, klitih berarti adalah konvoi di jalanan dan mencari sasaran. Anak-anak SMP atau SMA ini biasanya membawa pedang, celurit atau senjata tajam lainnya dengan konvoi di jalanan Jogja. Akibatnya, kata klitih sendiri dicap sebagai stigma negatif kejahatan jalanan.
Kejahatan klitih sebenarnya bukan hal yang baru bagi masyarakat Jogja. Awalnya klitih lahir dari tawuran antar pelajar yang marak terjadi di Jogja pada awal tahun 2000-an. Kebijakan walikota Jogja kala itu yang meminta pihak sekolah mengeluarkan para pelaku tawuran dari sekolah terbukti mampu meredam tawuran. Sayangnya, para pelajar ini justru tak mencari lawan antar sekolah namun mencari korban secara acak di jalanan Jogja.
Baca Juga: Dengar 'Kode' Misterius di Grabcar, Wanita Ini Selamat dari Penculikan Berkat Emergency Button
Motif klitih
Dilihat dari angka kejahatan klitih dari bulan Januari 2019 hingga Januari 2020, terdapat 40 kasus klith. Bisa disimpulkan, klitih beraksi lebih dari sekali setiap bulannya. Tingginya angka klitih ini sudah membuat masyarakat tidak nyaman dan resah. Lalu sebenarnya, motif dari klitih sendiri ini apa?
Dilansir dari Kompas.com, Selasa (14/01/20), menurut Sosiolog Kriminal UGM Soeprapto mengatakan, geng-geng itu kemudian melakukan kegiatan mencari musuh dengan mengelilingi kota secara acak. Jika sebelumnya karena motif balas dendam, maka saat ini motifnya beragam.
Klitih kini bukanlah bentuk balas dendam namun bertujuan untuk menunjukan eksistensi sebuah geng. Dibalik keberadaan para pelaku klitih ini ada yang ditumpangi untuk kepentingan tertentu. Biasanya otak klitih ini adalah pihak yang merasa lebih kuat.
Lantas mengapa mereka memanfaatkan bocah-bocah pelajar untuk meneror warga? Anak-anak pelaku klitih biasanya masih di bawah umur. Untuk itu apabila pelaku ditangkap polisi, tentu saja hukumannya ringan atau bahkan hanya diberi pembinaan saja dan dikembalikan ke orang tua.
Baca Juga: Mengaku Hape Dipake Temen, Orang Ini Ogah Bayar Pesanan ke Driver Ojol
Soeprapto yang telah melakukan penelitian tentang klitih sejak tahun 2008 ini mengatakan jika pelaku klitih atau geng terkait akan semakin senang apabila aksinya bisa membuat masyarakat geger dan viral di media sosial. Hal itu akan menjadi kepuasan tersendiri bagi para pelaku. Soeprapto sendiri memberi masukan kepada pihak berwajib untuk tidak hanya menangkap pelaku klitih namun membasmi klitih dari akar-akarnya. Terutama pelaku yang mendorong remaja untuk melakukan klitih.
Polisi sendiri menyebut fenomena kejahatan klitih ini bukan tanpa motif. Berbeda dengan Soeprapto, polisi menyebut jika klitih terjadi setiap kali ada anggota geng yang terluka. Untuk membalas dendam, para pelaku klitih akan mencari sasaran. Sayangnya, saat membalas dendam, mereka cenderung mencari korban secara acak di jalanan.
"Perlu kami sampaikan juga, memang yang beredar di publik itu aksi klithih tanpa motif, itu tidak sepenuhnya benar. Mereka [pelaku] melakukan aksinya itu pasti ada motif. Salah satunya mereka memiliki rasa ingin membalas ketika dilecehkan," kata Hadi pada Senin (7/1/2019).
Solusi untuk mengurangi klitih
Kalau memang benar apa yang disampaikan Soeprapto terkait klitih, tentunya polisi harus menyelidiki kasus klitih sampai ke akar-akarnya. Karena apabila hanya menangkap pelaku jalanan, tidak akan bisa memberantas klitih.
Kasus kejahatan klitih ini sungguh mengkhawatirkan dan memprihatinkan. Melihat para pelakunya masih di bawah umur di mana mereka seharusnya mengisi waktu dengan kegiatan positif, namun justru melakukan kejahatan terhadap orang tak bersalah. Bahkan banyak korban yang sampai kehilangan nyawa.
Hal yang perlu dilakukan adalah peran orang tua dalam mendidik dan mengawasi anaknya. Peran orang tua tentu sangatlah penting untuk memberi pemahaman sejak dini kepada anak-anak untuk tidak melakukan kejahatan terlebih bergabung menjadi anggota geng yang tidak tahu apa tujuannya.
Baca Juga: Tak Mau Ditilang, Pengemudi Mobil Nekat Dorong dan Cekik Anggota Polantas
Seorang anak harus diarahkan dan dituntun ke jalan yang memberikan manfaat. Tak hanya disekolahkan, namun dengan memantau kegiatan anak tanpa mengintimidasi adalah tindakan yang wajib dilakukan para orang tua. Pola asuh yang benar menjadi kunci tumbuh kembang anak dan membentuk kepribadian anak itu sendiri menjadi pribadi yang baik atau sebaliknya.
Selain itu, sekolah juga harus memberikan sistem kontrol dan membangun kepribadian yang kompetitif dalam bidang akademik maupun non-akademik. Pelajar yang sibuk dengan kesenangan yang bersifat positif akan menghindarkan mereka dari tindak kejahatan.
Daripada berkumpul dengan anggota geng yang tak memiliki manfaat apapun selain berbuat jahat, lebih baik anak disadarkan untuk mengisi kegiatan di masa muda dengan membekali soft skill serta aspek-aspek afektif agar anak-anak tumbuh dengan moralitas yang baik.
Klitih menjadi PR besar, bukan hanya untuk pihak berwajib namun bagi masyarakat yang tinggal di Jogja. Kenyamanan dan keamanan Jogja menjadi tanggung jawab bersama. Terlebih untuk para orang tua yang memiliki anak yang sedang tumbuh remaja untuk selalu memberikan pemahaman untuk tidak berbuat jahat. Mari kita wujudkan Jogja seperti semula, selayaknya slogan "Jogja berhati nyaman".