Konflik Ojol vs DC Pecah, Yakin Yogyakarta Masih Berhati Nyaman?

Jogja berhati nyaman?
Jogja berhati nyaman? | sisuarsair.blogspot.com

Sesungguhnya, Jogja tidak senyaman itu kawan!

Sebagai seorang perantau yang hampir 7 tahun hidup di Jogja, kota ini sebenarnya nyaman-nyaman nggak nyaman. Bukan karena UMR-nya yang rendah, tapi konflik-konflik yang kian meresahkan sering terjadi di sini.

Tapi apa sih yang ada di pikiran kalian saat mendengar kata Jogja? Istimewa, ngangenin, dan nyaman. Bagi para penduduknya dan wisatawan, Jogja memiliki atmosfer menenangkan yang tak dimiliki kota lain. Faktor inilah yang membuat Jogja itu ngangenin.

Jogja juga disebut nyaman karena biaya hidupnya termasuk yang termurah dibanding kota besar lainnya. Tapi sebenarnya nggak juga. Murah hanya berlaku bagi mereka para mahasiswa perantau crazy rich Kalimantan. Buat orang Solo seperti saya, biaya hidup di Jogja ini termasuk mahal.

Tapi sebenarnya, Jogja itu sendiri nyaman nggak sih untuk dihuni oleh para penduduk asli maupun pendatang? Menurut saya, Jogja ini terlalu banyak konflik, namun terkubur dengan keramahan orang-orangnya. Sebenarnya, Konflik di Jogja ini sungguh kompleks dan pelik guys.

Dari masalah klitih, suporter sepakbola yang bikin jengah, serta isu besar seperti isu rasial yang menjadi konflik panjang dan tak terselesaikan di Kota Pelajar ini. Seolah-olah mudah terlupakan, tapi gesekan sedikit saja bisa membakar emosi para penghuninya.

1.

Konflik ojol versus debt collector

Jogja berhati nyaman?
Para driver ojol saat berkumpul melawan Debt Collector | news.detik.com

Kasus ojol vs debt collector ini selama beberapa hari terakhir bikin warga Jogja emosi, terutama bagi para pecinta Mie Gacoan yang lokasi warungnya tepat berada di jalur Babarsari Gotham City. Gagal deh menikmati sepiring mie setan. Daripada mati konyol kena lemparan batu, mending putar balik.

Kerusuhan di Babarsari beberapa hari ini diramaikan oleh para ojol lengkap dengan atribut hijau-hijau baik Gojek maupun Grab yang bersatu melawan debt collector. Heran. Setiap konflik yang terjadi di Babarsari ini selalu dikaitkan dengan isu rasial ya?!

Isu itu berhembus seolah-olah para driver ojol adalah orang asli Jogja dan golongan debt collector diibaratkan kaum pendatang. Yaudah lah, kalau memang masalah driver ojol versus debt collector ya tak perlu dibumbui isu rasial.

Baca Juga: Selingkuh Sampai Hamil Saat Ditinggal Suami Jadi TKI, Rumah Istri Dirobohkan Pakai

Awalnya kasus ojol versus debt collector ini dikarenakan konflik pribadi antara seorang driver ojol dengan debt collector yang hendak menarik motor. Driver ojol lain yang saat itu ingin menghentikan aksi debt collector untuk menolong rekannya, malah dianiaya segerombolan debt collector.

Kasus itulah yang membuat para driver ojol bersatu melawan leasing. Eeeh, kelompok debt collector tidak terima hingga konflik pun pecah. Selama beberapa hari terakhir, kawasan Babarsari bahkan harus ditutup untuk menghindari konflik ini kembali terjadi.

2.

Babarsari Gotham City

Jogja berhati nyaman?
Babarsari Gotham City | www.solopos.com

Masih membahas seputar konflik di Babarsari yang tidak luput dari kaitannya dengan pendatang. Pada tahun 2018 lalu, tawuran pernah terjadi di kawasan Babarsari. Tawuran ini diawali karena seorang warga Papua ditusuk oleh warga Maluku. Kelompok warga Papua tak terima hingga akhirnya sweeping di jalanan mencari pelaku dengan membawa parang dan sajam lainnya.

Hadeeh, cukup ngeri memang saat itu. Lagi asik-asik menikmati jalanan Babarsari yang luasnya minta ampun, eeh ketemu segerombolan orang bawa parang. Siapa yang nggak ngeri? Bukan sekali dua kali konflik-konflik serupa terjadi di Babarsari. Babarsari ini layaknya arena perang bagi penduduk Jogja dan para pendatang. Ya wajar saja kalau dijuluki Babarsari Gotham City.

Baca Juga: Misteri Gambar Mengerikan dan Pesan Horor Pembunuh Bocah 5 Tahun di Jakpus: All The Good Girls Go to Hell!

Tapi guys, mau bagaimana? Babarsari ini memang tempat berkumpulnya para pendatang dari penjuru nusantara. Ibaratnya, Babarsari adalah mini Indonesia. Baik orang dari Barat sampai Timur Indonesia ada di daerah ini. Faktor inilah yang menyebabkan daerah ini rentan konflik. Sedikit saja terjadi gesekan, pasti bawa-bawa isu rasial dan berakhir tawur.

Padahal mestinya 'melting pot' seperti Babarsari ini bisa meningkatkan penerimaan perbedaan dan menjadikan masyarakatnya lebih terbuka. Lalu kenapa hal ini justru tak terjadi?

3.

Konflik lain di Jogja

Jogja berhati nyaman?
Isu rasial menjadi konflik besar di Jogja | www.merdeka.com

Jogja berhenti nyaman! Slogan plesetan itu seringkali saya dengar setiap ada konflik pecah di Jogja. Mungkin karena penduduknya sudah merasa tidak nyaman karena konflik terus saja terjadi.

Salah satu konflik atau kasus yang hingga kini meresahkan masyarakat adalah soal klitih. Klitih ini memang menyebalkan bukan main. FYI, klitih ini awalnya berarti jalan-jalan ke Pasar Klitikan, tapi lama-lama punya stigma buruk di mata masyarakat Jogja karena berubah makna sebagai kejahatan jalanan. Para klitih ini tak segan melukai siapa saja di jalanan dengan senjata tajam.

Yang paling bikin emosi adalah pelaku klitih ini adalah anak-anak di bawah umur. Bocil-bocil bau kencur ini sudah berani-beraninya melukai orang. Mereka yang seharusnya sibuk dengan kegiatan bermanfaat ini justru berkeliaran di jalan dan meresahkan masyarakat. Sampai saat ini pun kasus klitih yang ada sejak awal tahun 2000-an ini masih menjadi PR besar bagi pihak berwajib.

Yang juga tak kalah menyebalkan adalah kasus supporter bola PSS Sleman yang tak jarang sangat bar-bar. Suporter PSS Sleman ini punya sensi yang tinggi terhadap supporter Persis Solo. Sebagai warga Solo yang setiap harinya berkeliaran di Jogja, setiap kali supporter PSS Sleman war-wer di jalanan dengan pakaian ijo-ijo, membuat hati saya dag dig dug takut motor saya yang masih kreditan ini dirampas lalu dibakar. Memang tidak semua supporter PSS Sleman demikian, tapi tetap saja ulah segelintir oknum bar-bar itu tadi membuat hati saya gelisah.

Baca Juga: Jogja Mencekam! Heboh Bentrok Ojol Vs Debt Collector hingga Isu Penembakan Driver

Salah satu kasus yang tidak masuk akal adalah tingginya intoleransi di Jogja, baik dari sebagian warganya dan para pendatang itu sendiri. Sikap intoleransi ini tak jarang membuat saya emosi. Salah satunya adalah tradisi sedekah laut di Pantai Baru, Srandakan, Bantul pada tahun 2018 lalu yang harus dibatalkan.

Hal ini dikarenakan segerombolan orang merusak sesajen karena dianggap sedekah laut dianggap musyrik. Padahal tradisi sedekah laut ini sudah dilakukan sejak lama dan turun temurun oleh warga Jogja. Kalau pun dianggap musyrik, ya tidak perlu sampai merusak dan menghancurkan acara.

Bentuk intoleransi itu juga pernah ditunjukan dengan aturan “Non-Muslim dilarang bermukim” di sebuah desa di Bantul pada awal 2019 lalu. Seorang pelukis asal Semarang ditolak bermukim karena beragama Kristen.

Meski sudah mengadu hingga ke Sekretaris HB X, tetap saja pelukis dan anak istrinya dilarang tinggal di desa tersebut. Sungguh miris. Apakah bertetangga dengan Non-Muslim akan menghilangkan kadar imanmu terhadap agamamu? Ah sudahlah, orang-orang seperti ini memang tak ada habisnya untuk didebat.

4.

Wajib menghormati sesama

Jogja berhati nyaman?
Jogja berhati nyaman | sisuarsair.blogspot.com

“Sebagai perantau, kita tidak boleh arogan di tanah orang” begitu celetuk pacarku yang memiliki darah Maluku tulen. Saya sangat setuju dengan statement tersebut. Sama halnya dengan peribahasa asal Minang, “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung” yang artinya di mana pun kita berada, kita harus menghormati ada istiadat orang setempat.

Sebagai seorang pendatang, kita harus tahu diri. Arogansi tidak diperbolehkan saat kamu menginjakan kaki di tanah orang. Hormat dan santun itu harus dijunjung tinggi. Dan saling menghormati satu sama lain sudah menjadi kewajiban kita semua.

Kenyamanan dan keamanan Jogja itu sendiri tak bisa menjadi tanggung jawab penuh penduduk aslinya, tapi juga dari para pendatang yang hidup di tanah Jogja. Sebagai penduduk asli, yang harus dilakukan adalah meredam stigma negatif terhadap pendatang. Jogja sebagai wujud kemajemukan di Indonesia, harusnya bisa menjadi contoh bagi daerah lain untuk mengatasi konflik dan hidup berdampingan baik antar umat beragama maupun antar suku.

Artikel Lainnya

Untuk kalian yang berpikir ingin kuliah atau kerja di Jogja, yakin masih mau merantau di kota ini dan siap menghadapi setiap konflik yang kapan saja bisa meletus? Jogja tidak seromantis puisi-puisi dari para penyair kawan. Kalau kalian berpikir Jogja itu nyaman, pasti kalian hanya jalan-jalan di sekitaran Malioboro saja. Mainmu kurang jauh, coba deh mlipir ke Babarsari!

Tags :