Nasionalis! Inilah Sederet Bukti Tokoh Tionghoa yang Banyak Berjasa untuk Indonesia

Etnis Tionghoa Didiskriminasi, Apakah Benar Tidak Nasionalis
Etnis Tionghoa Didiskriminasi, Apakah Benar Tidak Nasionalis | www.bukalapak.com

Tokoh Tionghoa yang berjasa bagi Indonesia

Indonesia terdiri atas berbagai macam suku bangsa. Mulai dari Sabang sampai Merauke berjajar pulau-pulau yang mana memiliki bahasa yang berbeda-beda pula. Namun mereka dipersatukan dengan menggunakan bahasa kesatuan, bahasa Indonesia.

Indonesia juga terdiri atas berbagai etnis yang mana berdasarkan catatan sejarah tercipta melalui jalur perdagangan di masa lampau. Mulai dari etnis Tionghoa hingga etnis Arab pun ada di Indonesia. Sungguh beragam bukan negara kita yang tercinta ini?

Namun dewasa ini, isu tentang rasisme antar-etnis sungguh membuat hati pilu. Contoh nyatanya saja seperti yang dialami oleh etnis Tionghoa di Indonesia. Sebagai etnis minoritas, mereka kerap disandingkan dengan kata-kata “komunis”, “cina”, ataupun “aseng”.

Atau yang lebih parah lagi, mereka kerap dicap sebagai orang yang “anti-NKRI” atau “anti-pancasila”. Padahal kenyataannya, cukup banyak orang-orang yang berasal dari etnis Tionghoa yang sangat berjasa bagi Negara Indonesia. Tidak percaya? Berikut ini beberapa nama dari mereka!

1.

Soe Hok Gie

Etnis Tionghoa Didiskriminasi, Apakah Benar Tidak Nasionalis
Soe Hok Gie | kaltim.tribunnews.com

Siapa yang tidak kenal dengan pemuda yang satu ini? Soe Hok Gie terkenal lantang dalam memerangi ketidakbenaran. Bahkan sejak masih SMP, ia telah berani berdebat dengan gurunya yang dirasa tidak mau dikritik dan selalu membenarkan segala ucap maupun sikapnya.

Dalam catatannya, ia menulis “Guru model begituan, yang tidak tahan dikritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan dewa dan selalu benar. Dan murid bukan kerbau.”

Sikap kritisnya semakin tumbuh dan berkembang hingga berani mengungkit masalah kemiskinan dan kemapanan orang-orang kaya. Saat itu, Soe Hok Gie melihat seorang pengemis tengah makan kulit dan karena tidak tahan, ia pun memberikan uangnya yang hanya 2, 50 rupiah kepada si pengemis.

Ia lalu menulis, “Ya, dua kilometer dari pemakan kulit manga, ‘paduka’ kita mungkin lagi tertawa-tawa, makan-makan dengan istri-istrinya yang cantik. Aku besertamu orang-orang malang.”

Soe semakin merasa resah ketika melihat keadaan ekonomi semakin kacau dan banyak rakyat yang jatuh miskin. Ia berpendapat kalau rakyat terlalu melarat, maka secara alami rakyat akan bergerak sendiri. Jika hal itu terjadi, maka akan terjadi kekacauan besar.

Oleh karena itu, lebih baik mahasiswa yang bergerak dan dari sinilah orang-orang mulai berani menyuarakan pendapatnya. Kesehariannya pun mulai diisi dengan demonstrasi serta rapat penting.

Ia ingin bahwa para mahasiswa sadar kalau merekalah The Happy Selected Few yang bisa mendapatkan kesempatan untuk berkuliah. Untuk itu, mereka harus menyadari dan melibatkan diri dalam perjuangan bangsa.

Sementara itu, ia juga ingin menunjukkan kepada rakyat Indonesia bahwa mereka, para mahasiswa, bisa mengharapkan perbaikan keadaan dengan menyatukan diri untuk menentang kebijakan otoriter dari pemerintah di bawah pimpinan para patriot Universitas.

Sayangnya, aksi pemuda yang menginspirasi lahirnya order baru ini harus berakhir sehari sebelum dirinya berusia 27 tahun. Soe Hok Gie meninggal dunia setelah pergi mendaki Gunung Semeru karena menghirup gas beracun di puncak gunung.

Baca juga: Pemandangan Indah! Foto Non-Muslim dari Sejumlah Daerah Bagikan Menu Buka Puasa

2.

Tony Wen

Etnis Tionghoa Didiskriminasi, Apakah Benar Tidak Nasionalis
Tony Wen | bangka.tribunnews.com

Tony Wen merupakan pria yang sangat gemar berolahraga. Bahkan setelah lulus dari U Ciang University, Singapura dan Liang Nam University, Canton, ia memutuskan untuk menjadi guru olahraga di kota Jakarta.

Ia pun ikut serta dengan beberapa organisasi yang berkaitan dengan olahraga serta menjadi salah satu pesepak bola nasional yang handal di masanya. Namun, setelah kemerdekaan Indonesia dibacakan, ia pergi dari Jakarta dan memutuskan untuk menetap di Solo.

Pada saat Indonesia baru meraih kemerdekaannya, pemerintah dalam kondisi ekonomi yang buruk dan tidak memiliki kas negara yang cukup. Terlebih dengan adanya blockade oleh Belanda dari segala penjuru yang membuat pemerintah Indonesia semakin sulit dalam melakukan perdagangan dengan negara lain dalam rangka mengisi kas negara. Nah, di sinilah Tony Wen berperan.

Dengan berkurangnya kas negara, A. A. Marimis yang menjabat sebagai Menteri Keuangan pada saat itu menyarankan untuk menjual candu ke luar negeri. Dengan keahliannya dalam menyuplai logistik dan senjata, Tony Wen pun dipercaya untuk menjual candu-candu mentah dari pabrik candu yang ada di Salemba.

Tony Wen menjadi pelaksana, sedangkan Mukarto Notowidagdo ditunjuk sebagai koordinator tim. Tony kemudian menghubungi temannya di Singapura yang memiliki jaringan candu dan operasi itu pun dilakukan.

Dalam perjalanannya menuju Singapura dengan menggunakan perahu, Tony Wen membawa setengah ton candu dari Pantai Popoh di Kediri dan melintasi Pantai Selatan Jawa ke Selat Lombok untuk menghindari patrol yang dilakukan oleh Belanda.

Operasi lanjutan kemudian dilaksanakan oleh Laksamana John Lie dengan menggunakan pesawat amphibi Catalina. Dengan pesawat ini, Indonesia berhasil mengirim sebanyak 4 ton candu ke Singapura.

Namun akhirnya operasi ini diketahui oleh pihak Belanda sehingga Tony Wen ditangkap oleh polisi Inggris di Singapura. Setelah bebas, Tony Wen memutuskan untuk bergabung dengan PNI (1952) dan menjadi anggota DPR pada tahun 1954 hingga 1956.

Tony Wen meninggal pada 30 Mei 1963 dan dimakamkan di Menteng Pulo. Berkat jasanya yang besar bagi bangsa Indonesia, namanya dijadikan sebagai nama jalan di Pangkal Pinang. Sayangnya, tidak begitu banyak dokumentasi terkait foto-foto beliau.

3.

Yap Thiam Hien

Etnis Tionghoa Didiskriminasi, Apakah Benar Tidak Nasionalis
Yap Thiam Hien | www.merdeka.com

Sosok Tionghoa yang satu ini merupakan sosok yang sangat berpengaruh di Indonesia. Sedari kecil, Yap Thiam Hien dilahirkan dalam keluarga yang minoritas: beretnis Tionghoa, beragama Kristen, serta sosok yang jujur.

Sejak kecil pula ia telah menerima diskriminasi yang membuatnya tumbuh menjadi sosok yang membenci segala hal berbau penindasan dan kesewenang-wenangan.

Pada usia 9 tahun, Yap harus kehilangan ibunya yang meninggal dunia. Namun, kehadiran Sato Nakamura, seorang wanita Jepang simpanan kakeknya memberikan perhatian dan rasa etis yang kuat di dalam dirinya.

Ketika dewasa, ia memutuskan untuk mengambil sekolah hukum dan menjadi pengacara untuk membela hak asasi manusia. Ia juga menjadi salah satu pendiri dari YLBHI atau Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia.

Pada masa pemerintahan Soekarno, Yap menulis sebuah artikel yang berisi tentang himbauan agar Presiden segera membebaskan sejumlah tahanan politik.

Ia membuktikan bahwa nasionalisme tidak dapat dikaitkan dengan nama yang disandang seseorang dan ia pun tidak mengubah namanya sampai akhir hayat. Hal ini bertentangan dengan himbauan pada era Order Baru yang mana mengharuskan etnis Tionghoa untuk mengganti namanya.

Yap juga merupakan sosok yang antikomunis dan antikorupsi. Bahkan pada tahun 1968 ia sempat ditahan karena kegigihannya melawan korupsi di lembaga pemerintahan.

Pada peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari), ia tampil membela mahasiswa yang membuatnya kembali ditahan dengan dugaan telah menghasut mahasiswa untuk melakukan demonstrasi besar-besaran.

Meski tubuhnya kecil, nyalinya untuk membela orang-orang tertindas sungguhlah besar. Segala macam kasus yang bersangkutan dengan HAM, prinsip negara hukum dan keadilan akan ditanganinya dengan sukarela.

Ia pun tidak milih-milih dalam membela seseorang. Kaum terpinggirkan dan minoritas pun ia bela mati-matian. Akibat aktivitasnya ini, rumahnya pernah ditembaki oleh oknum yang tidak dikenal.

Dalam suatu kasus, ia pernah membela pedagang di Pasar Senen yang mana tempat usahanya akan digusur oleh pemilik gedung. Karena sudah sangat murka, ia bahkan menyerang pengacara si pemilik gedung dan berkata, “Bagaimana bisa Anda membantu orang kaya untuk menentang orang miskin?!”

Sosok Yap menjadi inspirasi dan teladan bagi banyak orang. Ia meninggal pada 25 April 1989 dan dimakamkan di TPU Tanah Kusir, Jakarta. Ribuan pelayat dari berbagai golongan hadir untuk menyampaikan bela sungkawa. Sekarang, nama Yap Thiam Hien diabadikan sebagai nama penghargaan bagi para pembela hak asasi manusia.

Artikel Lainnya

Itu dia beberapa orang dari kalangan etnis Tionghoa yang berjasa sangat besar bagi bangsa Indonesia. Sebenarnya masih banyak lagi orang-orang dari etnis Tionghoa yang sangat berjasa bagi negara kita, seperti John Lie Tjeng Tjoan, Lim Bak Meng, hingga Susi Susanti.

Jadi, tidak ada hubungannya antara keetnisan dengan kecintaan terhadap bangsa Indonesia. Sudahlah, jangan lagi mendiskreditkan orang lain hanya karena berbeda ras, suku, ataupun keyakinan. Kita perlu ingat bahwa bangsa Indonesia ini sedari dulu merupakan bangsa majemuk. BERSATU KITA TEGUH, BERCERAI KITA RUNTUH!

Tags :