Cerita Mistis Candi Gedog dan Tragedi Joko Pangon, Konon Dihuni Anjing Bermata Merah!
15 September 2021 by IdhamTragedi pengkhianatan yang dialami oleh Joko Pangon menjadi kisah sejarah yang memperkuat unsur mistis dari tempat ini.
Di Kelurahan Gedog, Kecamatan Sananwetan, Blitar, terdapat sebuah situs kuno Candi Gedog yang diyakini sebagai artefak yang menyimpan kisah tragis. Cerita ini dialami oleh seorang tokoh masyarakat bernama Joko Pangon.
Joko Pangon, menurut cerita yang beredar di masyarakat, ia datang dari barat. Tapi ada juga yang menduga dia datang dari Solo, dan ada pula yang mengatakan bahwa Joko Pangon adalah bangsawan atau prajurit dari Kerajaan Mataram.
Dilansir dari Detik.com, menurut cerita yang dituturkan oleh warga sekitar, dulunya Joko Pangon hidup sebagai seorang penjaga kerbau-kerbau yang dimiliki oleh seorang juragan bernama Swansang. Sebagai imbalan atas pengabdiannya, Joko Pangon diperbolehkan memiliki seluruh anak kerbau yang berkelamin jantan.
Baca juga: Pondasi Dasar Bendungan di Bali Ini Konon Terbuat dari Jasad Manusia
Sebaliknya, anak-anak kerbau yang dilahirkan sebagai betina menjadi milik Swansang sendiri. Tanpa diduga oleh Swansang, rupanya kerbau-kerbau yang dimilikinya lebih banyak melahirkan kerbau jantan dibanding betina.
Swansang yang merasa iri kepada bawahannya sendiri itu pun membuat perjanjian baru yang isinya menyatakan bahwa semua anak kerbau betina akan jadi milik Joko Pangon, dan semua anak kerbau jantan menjadi milik Swansang.
Namun, sejak kesepakatan diubah, tiba-tiba saja kerbau-kerbau milik Swansang malah lebih banyak melahirkan anak kerbau betina. Geram karena merasa diperdayai oleh Joko Pangon, Swansang pun menyuruh orang-orang untuk menangkap dan membunuh pria yang mengabdi kepadanya sebagai pengasuh hewan ternak itu.
Baca juga: Merinding! Begini Kesaksian Mistis yang Dialami oleh Perajin Gamelan Jawa
Tangan dan kaki Joko Pangon diikat dan dia dilemparkan ke dalam sumur. Anjing milik Randu Agung, orang yang kabarnya adalah janda yang mengangkat Joko Pangon sebagai anak, adalah yang pertama kali menemukan jasad Joko Pangon di dasar sumur.
Candi Gedog, yang merupakan makam Joko Pangon sendiri, saat ini dikenal oleh warga sebagai tempat sakral yang kerap dikunjungi oleh orang-orang yang hendak melakukan ritual-ritual tertentu. Sehingga, tidak aneh jika di sana kita bisa melihat sesaji di mana-mana.
Mereka biasanya datang untuk meminta bantuan atas permasalahan hidup. Para pelaksana ritual biasanya akan membakar kemenyan dan meletakkan sesaji di bawah pohon beringin yang konon dipersembahkan untuk arwah yang bersemayam di sana, yakni arwah Joko Pangon sendiri.
Baca juga: Jadi Tempat Persinggahan Mayat? Ini Kengerian Kawasan Penangkaran Burung Maleo Gorontalo
Menurut mitos yang beredar, makam Joko Pangon di Candi Gedog itu dijaga oleh makhluk halus berbentuk anjing, ular, dan macan. Anjing yang dimaksud dalam mitos masyarakat itu sendiri dipercaya sebagai anjing peliharaan Randu Agung yang pertama kali menemukan Joko Pangon di sumur.
Sugeng, salah seorang warga di sana, menuturkan bahwa makhluk halus penjaga makam Joko Pangon itu terkadang suka menampakkan dirinya kepada warga.
"Suatu malam, saya pernah melihat seekor anjing dengan mata bersinar merah," ujar Sugeng.
Baca juga: Serem! Kota Ini Ternyata Terdapat Museum Santet yang Mengerikan
Tidak jarang juga dia mendengar ada suara lolongan anjing yang dia ikuti sumber suaranya. Dan pencariannya selalu berujung di pohon beringin tua yang ada di situs Candi Gedog.
Jika sang anjing sudah memperlihatkan wujudnya kepada warga, para warga percaya bahwa itu merupakan pertanda untuk sesegera mungkin melaksanakan upacara selametan untuk menghormati arwah leluhur.
Selain anjing, ular, dan macan, kabarnya warga sekitar pun seringkali melihat penampakan pocong di sekitar Candi Gedog. Meski demikian, tempat itu tetap ramai dikunjungi oleh bukan hanya warga sekitar Sananwetan saja, melainkan juga dari luar kota Blitar.
Jika warga dari luar Blitar biasanya datang untuk meminta solusi atas permasalahan hidup. Warga di sekitar Sananwetan biasanya datang ke sana untuk nyadran, yakni sebuah tradisi upacara yang dilaksanakan untuk 'membersihkan' makam leluhur.