Wacana Pelegalan Poligami di Aceh, Jadi Solusi dari Fenomena Nikah Siri?

Poligami di Aceh
Poligami di Aceh | Keepo.me

Aceh angkat isu legalkan poligami, diharapkan jadi solusi dari fenomena nikah siri.

Pemerintah Daerah Aceh kini sedang menggodok peraturan daerah (Perda) atau qanun untuk melegalkan dan mengatur poligami. Qanun ini kini telah berada di tahap finalisasi draf dan sedang mengumpulkan data dari berbagai pihak termasuk Komnas Perempuan.

Dilansir dari CNN Indonesia, Kepala Dinas Syariat Islam Aceh, Alidar, menyebut bahwa maraknya fenomena pernikahan siri di masyarakat Aceh menjadi alasan bagi qanun pelegalan poligami. Praktik nikah siri dinilai banyak merugikan perempuan dan anak sehingga poligami dapat menjadi solusi.

“Masih wacana dan dalam pembahasan, karena orang banyak nikah siri [tapi] tidak tanggung jawab terhadap anak dan istri. Sehingga diwacanakan poligami dilegalkan, tapi saya tegaskan kembali ini belum pasti, masih wacana,” Tutur Alidar dikutip dari CNN Indonesia.

Poligami di Aceh
Wacana pelegalan poligami | Keepo.me

Qanun poligami kini memang masih bersifat wacana dan sedang dilakukan penyusunan draf oleh Dinas Syariat Islam Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dengan mengumpulkan data dari Komnas Perempuan.

“Qanun sedang disusun drafnya, sudah dibahas baru memfinalkan draf oleh Dewan Syariat [Islam] dan DPRA. Ini teman-teman juga sedang mengumpulkan data ke Komnas Perempuan,” ucap Alidar.

Anggota komisi VIII DPRA, Musannif, menyatakan kepada CNN Indonesia bahwa usulan mengenai qanun poligami ini merupakan usulan eksekutif yang berangkat dari Dinas Syariat Islam Aceh, bukan dari DPRA.

Baca Juga: Gabung ISIS, Perempuan WNI Divonis 15 Tahun Penjara di Irak

Pembahasannya pun ditargetkan untuk selesai sebelum pelantikan DPRA baru pada 30 September 2019 mendatang. Pasalnya, program legislasi daerah 2018 mengatur agar qanun ini selesai dalam periode saat ini sehingga penyusunannya pun harus dilakukan sebelum periode berakhir.

Inisiatif dan gebrakan kontroversial dari Aceh ini ternyata mendapat dukungan dari banyak pihak. Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Kabupaten Aceh Barat, Teungku Abdurrani Adian, menyatakan sangat setuju dengan usulan qanun poligami tersebut.

“Poligami ini secara hukum Agama Islam memang sah (legal), akan tetapi selama ini belum diterapkan dalam aturan daerah. Jika aturan ini jadi diterapkan, kita (ulama) sangat mendukung,” ucap Teungku Abdurrani Ardian dikutip dari Antara News.

Baca Juga: Mahkamah Agung Tolak PK Baiq Nuril, Jokowi Upayakan Bebas Lewat Amnesti Presiden

Qanun poligami yang diwacanakan akan dimasukkan dalam salah satu bab di qanun yakni hukum keluarga, dipercaya akan menjadi solusi bagi fenomena nikah siri yang dinilai merebak di Aceh. Nikah siri yang banyak merugikan perempuan dinilai dapat diselesaikan dengan pelegalan poligami.

“Kami mau kasih tahu kepada perempuan-perempuan siri itu, Anda akan menjadi korban kalau (pernikahan) ini tidak tercatat. Bagaimana nanti masalah ahli waris, harta gono-gini,” ucap Musannif dikutip dari CNN Indonesia.

Upaya penyelamatan dari fenomena nikah siri itulah yang kini menjadi dalih bagi DPRA terkait urgensi penerbitan qanun poligami di Aceh.

“Kadang isu (poligami) ini liar dan seakan ini mau ambil enaknya saja orang laki, padahal kami mau menyelamatkan perempuan dan anak dari pernikahan siri yang terjadi selama ini,” Jelas Musannif kemudian.

Artikel Lainnya

Isu pelegalan poligami di Aceh ini menuai pro dan kontra masyarakat. Bagi beberapa pihak, pelegalan ini menjadi solusi penyelamatan perempuan dan anak dari fenomena nikah siri. Namun muncul pula kritikan dari berbagai pihak terutama dari Komnas Perempuan dan pengamat kebijakan publik.

“Prihatin, ekspresi cara pandang patriarkis, hanya mengedepankan syahwat, tidak memperlakukan perempuan dengan hormat. Data Komnas Perempuan dari pengaduan yang selama ini masuk: perempuan dan anak korban paling menderita dari praktik poligami,” Tutur Komisioner Komnas Perempuan Adriana Venny dikutip dari Detik.

Bagaimana menurutmu tentang wacana pelegalan poligami di Aceh? Benarkah dapat menjadi solusi dan memiliki urgensi untuk diatur dalam peraturan daerah?

Tags :