Tanggapan Berbagai Kelompok Agama atas Usul NU Hapus Sebutan Kafir
07 Maret 2019 by LukyaniKalau kamu pro atau kontra?
Nahdlatul Ulama (NU) memberikan usulan agar kata “kafir” tidak lagi digunakan untuk menyebut warga Indonesia yang tidak beragama Islam. Perihal ini merupakan salah satu bahasan di Sidang Komisi Bahtsul Massail Maudluiyyah, yang diselenggarakan di Pondok Pesantren Miftahul Huda Al Alzhar, Citangkolo, Banjar, Jawa Barat.
Alasan NU menyepakati hal ini adalah anggapan bahwa penyebutan kafir bisa menyakiti hati orang-orang yang tidak memeluk Islam. Pembahasan mengenai penggunaan sebutan kafir ini muncul di sidang NU karena adanya kelompok masyarakat yang memberikan atribusi yang diskriminatif.
Abdul Moqsith Ghazali, pimpinan sidang, mengatakan sebutan kafir mengandung unsur kekerasan teologis. “Karena itu para kiai menghormati untuk tidak gunakan kata kafir tapi ‘Muwathinun’ atau warga negara, dengan begitu status mereka setara dengan warga negara lain,” dikutip dari Tempo.co, Minggu (3/3).
Mengenai penghapusan sebutan kafir ini pun menuai banyak komentar dari berbagai pihak. Termasuk dari kelompok agama selain Islam. Dikutip dari Tempo.co, Minggu (3/3), berikut adalah beragam tanggapan mengenai usulan NU.
Katolik – Persekutan Gereja Indonesia (PGI)
Persekutan Gereja Indonesia (PGI) melihat bahwa usulan dari NU menjadi penting sebagai upaya untuk menangkal fenomena intoleransi yang kian masif dewasa ini dan mengikis semangat mengkafirkan umat di luar Islam.
Gomar Ultom, Sekretaris Umum Persekutan Gereja Indonesia (PGI), mengatakan bahwa kafir-mengkafirkan adalah kekerasan teologis. Ia pun menganggap hal ini sebagai gangguan untuk persaudaraan bangsa Indonesia.
“Kita tidak hendak menggugat penggunaan kata kafir dalam kitab suci, kalau itu memang ada. Namun dalam masyarakat majemuk, dan dalam perspektif kemanusiaan sejati, patutlah kita mengembangkan pemahaman yang lebih menghargai satu sama lain,” ujar Gomar, seperti dilansir oleh Tempo.co, Minggu (3/3).
Hindu – Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI)
Umat Hindu melalui Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) juga senada dengan pernyataan PGI mengenai usulan NU tersebut. AA Ketut Diatmika, Sekretaris Bidang Hubungan Internasional PHDI Pusat, mengatakan bahwa usulan ini adalah langkah merekatkan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.
“Apa yang dilakukan oleh saudara kami dari NU adalah hal yang positif demi terbinanya ketertiban, persatuan, dan kesatuan bangsa Indonesia. Kami ikut mendukung,” ujar Ketut Diatmika kepada Tempo.co.
Buddha – Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi)
Respons yang sedikit berbeda diungkapkan oleh umat Buddha melalui Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi). Mereka melihat perkara penyebutan kafir ini lebih ke ranah teologis. Rusli Tan, Koordinator Publikasi Walubi, mengatakan bahwa Umat Buddha tidak seharusnya mempermasalahkan sebutan untuk mereka.
“Umat Buddha seharusnya tidak mempermasalahkan panggilan orang atau apa kata orang. Karena tidak semestinya (Umat Buddha) menuntut orang lain untuk menghormati,” ujar Rusli Tan.
Rusli Tan juga mengungkapkan bahwa dalam ajaran Buddha, diajarkan untuk tidak menuntut orang lain. Untuk dihormati, umat Buddha wajib menghormati orang lain, bagaimana pun kondisinya.
Menurut ajaran Buddha, apapun reaksi yang diterima adalah karma baik dan buruk bagi umat tersebut. “Persoalan orang lain menghormati kami atau tidak, itu karma kami sendiri,” tambah Rusli Tan.
Kesepakatan untuk menghilangkan sebutan kafir bagi pemeluk agama selain Islam sebatas menjadi sikap dasar NU. Kesepakatan ini tidak akan dilanjutkan ke dalam sidang pleno di acara Munas Alim Ulama.
Menurut pemimpin sidang, usulan ini hanya narasi akademis, sedangkan rekomendasi kaitannya dengan kebijakan dari pihak negara.