Pendeta Muda Melinda Zidoni Dibunuh, Perempuan Indonesia Terancam di Ruang Publik?
27 Maret 2019 by Talitha FredlinaBukankah perempuan juga berhak merasa aman di ruang publik?
Selasa (26/03) pagi, warga menemukan jasad seorang perempuan tanpa busana di kebun sawit milik PT Persada Sawit Mas, Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatra Selatan. Jasad yang belakangan diketahui milik seorang pendeta muda berusia 24 tahun itu diduga merupakan korban pemerkosaan dan pembunuhan.
Berdasarkan keterangan polisi, kejadian bermula saat korban dan saksi berinisial NPR yang masih berusia 9 tahun sedang dalam perjalanan pulang dari pasar. Jalan setapak yang dilalui korban saat itu terhalang oleh balok kayu sehingga korban turun untuk menyingkirkannya.
Saat itulah korban dan saksi disergap dan diseret ke kebun sawit. Korban bersama saksi dicekik dan kedua tangannya diikat. Saksi lantas pingsan dan dibuang ke semak-semak, sedangkan korban disinyalir diperkosa sebelum akhirnya tewas dicekik.
Kasus yang menimpa pendeta muda lulusan Sekolah Tinggi Teologi Palembang ini merupakan satu dari sekian banyak berita mengenai kekerasan terhadap perempuan Indonesia di ruang publik yang memenuhi media.
Berita nahas ini lantas membuat kita mempertanyakan lagi keamanan perempuan Indonesia di ruang publik.
Berdasarkan data CATAHU yang dirilis oleh Komnas Perempuan pada tahun 2018, angka kekerasan terhadap perempuan secara total mencapai 348.446 kasus selama tahun 2017. Di antara kasus tersebut, 3.528 kasus, atau sekitar 26 persen, terjadi di ranah publik.
Dari 3.000 lebih kasus tersebut, mayoritas jenis kekerasan yang terjadi adalah kekerasan seksual. Jika dirinci, kekerasan seksual yang paling banyak terjadi adalah pencabulan, pelecehan seksual dan perkosaan.
Survei yang dilakukan oleh Yayasan Plan International Indonesia pun menemukan bahwa dari 1.396 responden perempuan, 44,2 persen merasa fasilitas umum seperti stasiun dan halte merupakan tempat yang tidak aman. 56,8 persen pun merasa trotoar jadi tempat berbahaya.
Ancaman kekerasan seksual dan tindakan kriminal menjadi sumber dari rasa tidak aman mayoritas perempuan di ruang publik. Tidak heran, mengingat bahwa 29,1 persen responden juga mengaku pernah menyaksikan pelecehan seksual di ruang publik.
Angka dan data di atas tentu saja terasa mencemaskan, terlebih mengingat CATAHU hanya berdasarkan laporan kasus yang masuk ke Pengadilan Agama dan lembaga mitra pengadalayanan.
Bagaimana dengan berbagai kasus yang tidak terlapor atau hanya berakhir jadi unggahan di media sosial semata? Besar kemungkinan, angka kekerasan terhadap perempuan di dunia nyata lebih tinggi daripada angka yang disebut oleh CATAHU.
Sebagai warga negara Indonesia, kita patut berprihatin akan fakta-fakta ini. Semua orang memiliki hak untuk merasa aman di ruang publik, terlepas dari gendernya. Yuk saling menjaga dan bantu ciptakan kondisi yang lebih aman bagi perempuan di tempat umum!