Ketika Membaca Tere Liye Dianggap Melawan Pemerintah

Penyitaan buku | www.keepo.me

Rajin Membaca Jadi Pandai, Malas Membaca Jadi Polisi?

Beberapa hari lalu, publik jagat maya dihebohkan berita penangkapan sejumlah tersangka pelaku vandalisme di Banjar, Jawa Barat. Mereka dibekuk atas dugaan aksi corat-coret bertuliskan ‘Kill the Rich’ dan dianggap menghina pemerintah. Landasan hukumnya adalah Pasal 14 dan Pasal 15 UURI No 1 tahun 1946 tentang menyiarkan berita bohong dan Pasal 160 KUHP tentang tindakan menghasut di muka umum dengan ancaman hukuman penjara 10 tahun.

Sebelumnya, pihak kepolisian menyebut ada beberapa kelompok [sic!] Anarko yang berencana memanfaatkan pandemi Corona untuk membuat onar dan melakukan penjarahan (Detiknews, 12/4/2020). Tagar #AnarkoTunggangiCorona pun sempat berseliweran di Twitter, mengesankan bahwa entitas oksimoron semacam ‘kelompok Anarko’ benar-benar eksis di muka bumi.

Buku sebagai Barang Bukti Kejahatan

Kita abaikan saja perdebatan soal ada tidaknya dan rencana jahat Anarko untuk menguasai Nusantara di saat sebagian masyarakat sedang pusing-pusingnya memikirkan besok jadi mudik atau tidak. Apa yang kali ini saya soroti adalah sejumlah barang bukti yang disita pihak kepolisian dari para tersangka di Banjar tadi.

Cek foto di bawah ini:

Foto rilisan Humas Polda Jabar | twitter.com

Foto di atas dirilis Humas Polda Jabar dengan keterangan judul yang semuanya berhuruf kapital: ‘POLRES BANJAR BEKUK EMPAT PELAKU VANDALISME UJARAN KEBENCIAN’.

Terlihat di barisan belakang ada tiga pemuda berkalungkan kertas bertuliskan ‘TERSANGKA’ diapit dua petugas. Sesuai anjuran social distancing, jarak sekitar semeter di depan mereka ada tiga petugas yang duduk di depan meja bertuliskan ‘BARANG BUKTI’.

Dalam foto, semua orang mengenakan masker, tapi tentu saja bukan karena bapak-bapak polisi itu mengikuti gaya fesyen khas aktivis Anarko yang sering digambarkan memakai masker saat beraksi di jalan.

Tenang, bapak-bapak polisi di atas masih polisi kok. Dan tiga pemuda lainnya mungkin saja aslinya juga suka rebahan di kamar tapi berhubung bosan kelamaan #dirumah aja jadinya malah ingin cari kesibukan di luar keluyuran corat-coret di jalanan. Mungkin lho ya..

Perhatikan baik-baik foto yang dirilis sebagai tanda penangkapan dan penyitaan barang-barang bukti aksi vandalis itu. Di atas meja ada kaos dengan gambar cetakan yang tidak begitu jelas dan beberapa lembar kertas. Sementara itu, tiga bapak polisi yang terhormat itu masing-masing memamerkan sejumlah buku. Ya, buku-buku yang disita sebagai barang bukti vandalisme ujaran kebencian.

Pengumuman barang-barang bukti itu sontak mengundang kritikan dan kecaman dari warganet. Terlebih lagi karena beberapa buku yang disita kesannya tidak nyambung dengan apa yang dituduhkan polisi. Salah satunya adalah buku karangan Tere Liye, penulis novel pop kebanggaan Gramedia dan konon digandrungi remaja-remaja tanggung.

Baca Juga: Viral Aksi Vandal 'Kill The Rich' di Banjar, Pelaku Terinspirasi Joker hingga Buku Tere Liye Disita!

Kompilasi komentar warganet | twitter.com

Buku Apa Saja yang Disita?

Mari kita cek lagi dalam foto tersebut, apa saja sih buku yang terpapar sebagai barang bukti itu? Dan apa benar buku-buku tersebut berisi hinaan atau hasutan yang mengancam pemerintah?

Syekh Siti Jenar Sang Kontroversial (Susatyo Budi Wibowo)

Syekh Siti Jenar Sang Kontroversial (Susatyo Budi Wibowo) | www.tokopedia.com

Isi buku terbitan Araska Publisher ini tentu saja tidak ada kaitannya dengan anarkisme. Sosok Syekh Siti Jenar dikenal sebagai penyebar ajaran filsafat Islam Manunggaling Kawulo Gusti yang meskipun kontroversial, tapi sarat dengan konsep sufisme. Alih-alih menjadi seorang aktivis Anarko yang radikal, justru setelah membaca buku ini kamu barangkali akan semakin kebingungan mengenali dan memahami siapa dirimu sebenarnya dalam kehidupan ini.

Baca Juga: Dianggap Menganjurkan Sihir, Gereja Katolik Bakar Novel Harry Potter

Seni untuk Bersikap Bodo Amat (Mark Manson)

Seni untuk Bersikap Bodo Amat (Mark Manson) | www.gramedia.com

Buku yang sempat jadi hits beberapa waktu lalu dan laris manis. Isi dari buku ini sebenarnya adalah motivasi dan panduan menjalani hidup dan tak usah memusingkan segala perkara yang hanya akan meribetkan pikiranmu, termasuk urusan Anarko dan vandalis.

Seks dan Revolusi (Jean-Paul Sartre)

Seks dan Revolusi (Jean-Paul Sartre) | shopee.co.id

Dua kata yang sangat potensial memicu imajinasi liar; ‘seks’ dan ‘revolusi’. Meskipun pernah menjadi anggota Partai Komunis di Prancis, Sartre menyusun kumpulan esei dalam buku ini sebagai salah satu alat kritiknya pada kekakuan Marxisme. Lagipula, membayangkan buku ini sebagai ancaman pada pemerintah sepertinya kok berlebihan. Kualitas terjemahannya tidak terlalu saya rekomendasikan untuk dibaca karena bisa bikin makin pusing dan lapar.

Negeri Para Bedebah (Tere Liye)

Negeri Para Bedebah (Tere Liye) | www.tokopedia.com

Saya belum pernah membaca satu pun karya Tere Liye. Dari info-info intelijen yang saya kumpulkan, katanya novel ini cuma mengisahkan seorang konsultan finansial yang mendapatkan tugas menyelamatkan sebuah bank dari jurang kehancuran. Judulnya kok seperti click bait, ya nggak sih?

Muhammad, Marx, Marhaen (Jeanne S. Mintz)

Muhammad, Marx, Marhaen (Jeanne S. Mintz) | www.bukalapak.com

Oke, dari judulnya saja sudah memancing bapak-bapak polisi untuk menyitanya. Faktanya, buku terjemahan ini merupakan karya penelitian yang melacak sejarah pergerakan menuju kemerdekaan Indonesia dari akar Islam, Marxisme, dan Marhaenisme.

Bertuhan Tanpa Agama (Bertrand Russel)

Bertuhan Tanpa Agama (Bertrand Russel) | www.lpminstitut.com

Lagi-lagi judulnya sangat rentan menjadi sasaran empuk aparat ataupun kaum sumbu pendek. Namun, buku ini sebenarnya berisi serangkaian gagasan argumentatif tentang teologi dan kritikannya. Isinya pun tidak mengajak pembaca untuk meninggalkan Tuhan.

Semua buku di atas dapat dibeli secara bebas dan legal di toko-toko buku terdekat atau via online. Artinya, tidak pernah ada larangan untuk menjualbelikan apalagi membaca buku-buku tersebut. Jelas?

Baca Juga: 7 Toko Buku Indie Menarik yang Ada di Indonesia

Klarifikasi Pihak Kepolisian

Komentar warganet | twitter.com

Menurut Kadivhumas Polda Jawa Barat, Kombes Sapto Erlangga, buku-buku itu bukan barang bukti melainkan barang yang diamankan dari para tersangka.

Jelas-jelas dalam foto resmi Humas Polda Jabar, buku-buku tersebut ditunjukkan ke publik dengan keterangan sebagai barang bukti. Sadar atau tidak, polisi sedang memainkan tanda dan penanda antara buku-buku tersebut serta asosiasi bebas yang mengafirmasi tuduhan pihak kepolisian. Anehnya, unggahan Humas Polda Jabar itu sudah dihapus oleh akun resmi, tapi gambarnya sudah tersebar.

Dan sebenarnya masih banyak buku lain yang dijadikan barang bukti penangkapan para tersangka Anarko, seperti yang terjadi di Tangerang Kota, 12 April 2020. Buku-buku tersebut adalah:

  • Massa Aksi (Tan Malaka)
  • Corat-coret di Toilet (Eka Kurniawan)
  • Indonesia dalam Krisis 1997-2002 (Tim Litbang Kompas)
  • Pencerahan Tanpa Kegerahan (Aldentua Siringoringo)
  • Ex Nihilo (Dwi Ira Mayasari)
  • Love, Stargirl (Jerry Spinelli)
  • Gali Lobang Gila Lobang (Remy Sylado)
  • Goresan Cinta Sang Kupu-kupu (Fitri Carmelia Lutfiaty)
  • Nasionalisme Islamisme dan Marxisme (Soekarno)
  • Christ the Lord: Out of Egypt (Anne Rice)

Pendiri Kantor Hukum dan HAM Lokataru, Haris Azhar, mengungkapkan kekhawatiran bahwa suasana sekarang ini sedang dibesar-besarkan polisi dengan menciptakan Anarko sebagai musuh. Saat ini memang sedang terjadi kerentanan sosial, tapi tidak lewat cara ini menanganinya. Tambahnya, buku-buku sebagai barang bukti itu justru tidak nyambung (Tempo, 13/4/2020).

Masa buku yang menulis kritik ketimpangan ekonomi dianggap sebagai rujukan tindakan anarkis? Bisa-bisa kitab suci agama-agama yang mengajarkan keadilan atau anti ketimpangan juga dilarang nantinya, (Haris Azhar, Pendiri Kantor Hukum dan HAM Lokataru - Tempo, 13/4/2020).

Fobia Buku dan Matinya Literasi

Indonesia Darurat Membaca | twitter.com

Benarkah buku menjadi ancaman bagi pemerintah?

Bulan Juli 2013, DPR mengesahkan Undang-undang Organisasi Massa (Ormas) yang intinya memberikan wewenang kepada negara untuk membatasi dan mengawasi organisasi non-pemerintah (Media Indonesia, 4/7/2019). Dampak dari penerapan UU tersebut adalah ketakutan dari sejumlah toko buku yang memajang buku-buku bertema Marxisme dan Komunisme meskipun ditulis secara akademis dan diterbitkan secara legal. Jangan lupa juga dengan TAP MPRS Nomor XXV tahun 1966 yang melarang penyebaran ajaran Komunisme.

Baca Juga: Namai Diri Brigade Muslim Indonesia, Sekelompok Orang Razia Buku Berbau 'Kiri'

Razia buku | news.detik.com

Dan sebenarnya bukan hanya pemerintah melalui perpanjangan tangan aparat yang punya hobi menyita buku, tapi sebagian elemen masyarakat yang memainkan relasi kuasa atas nama agama atau Pancasila. Nyaris setiap tahun ada saja berita tentang sweeping, penyitaan, dan bahkan pembakaran buku yang dilakukan sukarela oleh ormas-ormas semacam FPI hingga Pemuda Pancasila.

Titik awalnya mungkin semenjak tragedi 1965 yang salah satunya berimbas pada pelarangan dan pembakaran buku-buku yang dianggap tidak sepaham atau menentang rezim Orde Baru. Fobia buku semakin merajalela dan menandai era kematian literasi. Ironisnya, pemerintah sendiri kerap mengkampanyekan gerakan Minat Baca.

Sebegitu takutkah pemerintah dan sebagian masyarakat pada buku? Wajar saja kalau minat baca Indonesia menempati peringkat kedua dari bawah, berdasarkan survei UNESCO tahun 2019.

Baca Juga: Referensi Buku Motivasi Best Seller dan Terbaik untuk Proses Self-improvement

Pembakaran buku | www.kompasiana.com

Sepanjang sejarah dunia, buku sering menjadi ancaman yang harus diberangus. Fernando Baez dalam Penghancuran Buku dari Masa ke Masa (Marjin Kiri, 2013) memaparkannya begitu gamblang. Pakar perbukuan dan perpustakaan itu kerap terhantui pertanyaan; “Mengapa manusia menghancurkan buku?”.

Di manapun mereka membakar buku, pada akhirnya mereka akan membakar manusia (Heinrich Heine, Almansor)

Baez mengawali kajiannya dari kisah penggempuran perpustakaan Baghdad, Irak, yang diluluhlantahkan tentara Amerika Serikat. Ia menyaksikan langsung bagaimana peradaban dihancurkan melalui pembakaran buku.

Baca Juga: Patut Dicontek! Kreasi Artistik Seniman Mengolah Koleksi Buku Bekasnya Jadi Karya-karya Luar Biasa

Perpustakaan Baghdad setelah dijarah dan dibakar semasa invasi tentara Amerika Serikat, tahun 2003 | www.nytimes.com

“Kenangan kita tak ada lagi. Tempat lahir peradaban, tulisan, dan hukum, musnah terbakar. Sisanya tinggal abu”, demikian tangis seorang profesor sejarah di Baghdad ketika mengetahui setiap buku yang ada dalam perpustakaan universitas telah dijarah dan dihancurkan.

Jadi, mungkin saja benar bahwa buku akan selalu menjadi ancaman bagi mereka yang berkuasa. Sampai-sampai ada jargon klise yang kadang membuat saya mual seperti #membacaadalahmelawan. Mau melawan siapa? Kalau membaca apakah memang bisa melawan sesuatu yang lebih besar? Bagi saya, membaca ya membaca saja, apapun bacaannya. Urusan nanti habis membaca mau melawan atau tidak, terserah si pembaca.

Faktanya, buku justru kerap jadi simbol elitis kaum pseudo-intelektual, yang hidup di menara-menara gading, memantau dan mengomentari beragam hal dari tumpukan tebal referensi, seperti yang sedang saya lakukan sekarang ini.

Artikel Lainnya

Saya sebenarnya khawatir, kebiasaan mengkambinghitamkan buku justru akan menimbulkan stigma negatif pada buku atau aktivitas membaca itu sendiri. Apa yang dapat diharapkan dari kampanye literasi yang sekadar dimaknai sebagai membaca atau (parahnya lagi) mengoleksi buku, sedangkan banyak pihak justru memamerkan parade kekonyolan tentang buku?

Tags :