Kasus Penganiayaan Gadis SMP di Pontianak, Puncak Gunung Es Bullying di Indonesia?
11 April 2019 by Talitha FredlinaKasus AY angkat perhatian kita akan perisakan di Indonesia
Belakangan, viral kasus perisakan (bullying) terhadap seorang gadis SMP berinisial AY oleh segerombolan anak SMA karena urusan teman laki-laki. Detail mengerikan dari insiden perisakan ini dibagikan secara gamblang melalui media sosial dan berhasil meraih simpati masyarakat.
Akibat dianiaya, AY kini harus dirawat di Rumah Sakit. Ia dikabarkan mengalami berbagai luka dalam dan memar di beberapa bagian tubuhnya. AY pun mengalami trauma dan depresi akibat perisakan dan penganiayaan yang diterimanya.
Kasus ini kini telah ditangani oleh kepolisian dan ditetapkan tiga tersangka berinisial L, TPP dan NNA. Ketiga tersangka yang juga masih berada di bawah umur itu terancam hukuman tiga setengah tahun penjara.
Akan tetapi dilansir dari Detik.com, sesuai dengan UU Nomor 11/2012, maka akan dilakukan diversi atau pengalihan perkara dari ranah peradilan pidana ke luar peradilan pidana. Dengan kata lain, kasus ini tidak akan diselesaikan sebagai sebuah kasus pidana, atau berakhir ‘damai’.
Kasus yang menimpa AY ini hanya satu dari segelintir kasus perisakan di Indonesia yang berhasil naik ke permukaan akibat parahnya dampak lanjutan dari insiden tersebut. Namun kasus ini mengungkap pula fenomena perisakan atau bullying di Indonesia yang ternyata tak bisa dianggap enteng.
Menurut data KPAI, laporan kasus bullying kian meningkat. Hal ini dapat diartikan sebagai semakin maraknya insiden perisakan yang terjadi di kalangan anak-anak dan remaja, atau meningkatnya kesadaran masyarakat untuk menindaklanjuti kasus perisakan.
Sedangkan UNICEF membeberkan bahwa 41 hingga 50 persen remaja di Indonesia pernah mengalami perisakan online. Perlu dicatat bahwa UNICEF juga menemukan para korban perisakan online ini kerap menjadi korban perisakan tradisional pula.
Bentuk perisakan yang diterima pun bisa bermacam-macam. Mulai dari kekerasan fisik dan psikis seperti yang dialami oleh AY, hingga revenge porn dan isolasi. Dampak buruk yang diterima dari perisakan juga bisa macam-macam, mulai dari gangguan kesehatan mental seperti depresi, trauma dan gangguan hubungan sosial.
Melihat fakta ini, ada baiknya kita introspeksi kembali. Apakah kita salah satu yang melanggengkan budaya perisakan terhadap mereka yang kita anggap ‘salah’, ‘berbeda’ atau ‘lemah’? Bagaimana kita sebagai bangsa dapat menciptakan lingkungan yang lebih aman serta damai bagi anak-anak tanpa adanya ancaman perisakan?