Dapat Bantuan 1 Butir Telur dan Sebungkus Mi Instan, Korban Bencana NTT: Kami Merasa Diolok-olok Pemerintah
22 April 2021 by Christie Stephanie KalangieKorban bencana NTT merasa dijadikan bahan lelucon akibat bantun dari pemerintah yang tidak sesuai dengan rekomendasi ahli gizi
Banjir bandang serta tanah longsor akibat siklon tropis seroja terjadi di sejumlah wilayah di Provinsi NTT, pada Minggu (4/4/2021). Banjir yang merendam ratusan rumah mengakibatkan warga terpaksa mengungsi ke tempat yang lebih aman.
Umumnya, masyarakat yang berada di tempat pengungsian mendapatkan pasokan makanan dari para relawan dan pemerintah.
BACA JUGA: Rumah Tangga Sule dan Nathalie Holscher Diambang Perceraian, Nama Tisya Erni Terseret
Merasa dihina oleh pemerintah saat sedang diterpa bencana
Namun baru-baru ini, warga di Kelurahan Teunbaun, Kecamatan Amarasi Barat, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), merasa kesal dengan bantuan yang diberikan oleh Pemkab Kupang.
Hal ini karena bantuan yang mereka dapat hanya berupa satu butir telur, sebungkus mi instan, dan satu kilogram beras.
BACA JUGA: Ukuran Indomie Dari Nigeria ini Gede Banget, Bisa Buat Makan Berhari-hari!
Sejumlah warga korban bencana menilai hal tersebut merupakan sebuah penghinaan terhadap mereka.
"Bantuan ini, kami anggap sebuah lelucon. Ini kata kasarnya sudah hina kami. Walau kami diterpa bencana seperti ini, tapi kami masih ada pisang, kelapa ubi yang nilainya masih lebih tinggi dari bantuan pemerintah," kata warga bernama Amtira pada Selasa (20/4/2021).
Amtira merasa kesal lantaran bantuan diberikan setelah dua pekan bencana melanda, yaitu pada 14 dan 17 April.
"Kami masyarakat yang kena musibah langsung di sini bingung dengan pemberian bantuan model begini. Kami tidak habis pikir, kok bisa ada bantuan yang model begini padahal bencana besar sekali," ungkap Amtira.
Bantuan pihak lain dirasa lebih layak daripada bantuan pemerintah
Sindiran juga disampaikan korban bencana asal Dusun 9, RT 29, RW 14, Desa Merbaun bernama Yuli Bureni, yang menerima bantuan itu di rumah ketua RT pada Jumat (16/4/2021).
"Ini bantuan aneh. Kami merasa seperti diolok-oleh pemerintah dengan bantuan beras satu kilo dan telur sebutir ditambah mi satu bungkus," keluh Bureni.
Bureni menyebutkan, dirinya beberapa waktu lalu juga mendapat bantuan dari pihak lain selain pemerintah, tapi masih lebih banyak jumlahnya dan lebih layak.
"Biar kami dapat bantuan sedikit pun kami bersyukur. Tapi ini bantuan satu butir telur kami rasa sangat lucu," ucap Bureni sembari tertawa.
Camat secara terbuka menanggapi kekesalan warganya
Menanggapi keluhan warga, Camat Amarasi Barat, Kornelis Nenoharan mengatakan, pihaknya telah mendistribusikan bantuan berupa beras, mi instan, telur, minyak goreng, dan sebagainya kepada masyarakat dalam dua tahap.
Bantuan tahap pertama yang diberikan pada Rabu (14/4/2021), yaitu 2.500 kilogram beras, 50 kardus mi instan, 48 rak telur, 18 kantong minyak goreng ukuran 2 liter, dan 5 lembar tikar.
Lalu, bantuan tahap kedua diberikan pada Sabtu (17/4/2021), berupa 2.500 kilogram beras, 1 unit genset, 30 buah matras, 16 kilogram gula pasir, 20 kaleng ikan kalengan, 1 buah tandon berukuran 750 liter, 50 bungkus masker, 50 kardus mi instan, 10 kilogram gula pasir, 5 kardus air mineral ukuran 1,5 liter.
Kornelis menilai, jika bantuan dibagi rata, tak mungkin warga hanya mendapat satu kilogram beras. Setidaknya, setiap kepala keluarga mendapat hampir dua kilogram beras. Sedangkan, untuk jumlah telur dan mi instan memang tidak cukup.
"Artinya semua bantuan itu kami distribusikan secara merata kepada masyarakat. Meskipun hanya satu butir atau satu bungkus asal sampai ke orangnya," kata Kornelis.
Komentar ahli gizi perihal bantuan yang dianggap tidak layak
Atas keluhan warga NTT, ahli gizi pun mengingatkan bahwa makanan ultra proses seperti mi instan, harus dihindari dalam respons tanggap darurat bencana.
Dokter, filsuf dan ahli gizi komunitas, Dr dr Tan Shot Yen M Hum menegaskan, konsumsi pangan untuk korban bencana yang harus tersedia bukanlah makanan yang sekadar bisa disediakan atau seadanya, tetapi harus aman untuk dikonsumsi para korban di pengungsian.
Hal ini penting, agar makanan hasil sumbangsih para sukarelawan dan pemerintah yang dikonsumsi di pengungsian, tidak menjerumuskan para pengungsi korban bencana pada gangguan kesehatan di masa mendatang.
Menurut dr. Tan, jika ingin membantu para korban bencana, makanan yang dikirim harus kaya manfaat.
"Jangan membuat para pengungsi terpaksa mengonsumsi makanan yang dimasak dari hasil campuran produk makanan ultra-proses (UPF)," ujar dr.Tan pada Senin (8/2/2021) .