Menghapus Stigma, Tinder Tak Ubahnya Media Sosial Biasa

Tinder | www.vice.com

Tinder atau dating app lebih dari sekedar aplikasi pencari jodoh.

Seorang teman menyeringai penuh kemenangan setelah tahu wanita yang pernah menolak cintanya bermain Tinder. Wanita itu pernah diidamkan menjadi ibu bagi anak-anaknya dan ternyata kenyataan memang tidak seindah khayalan. Cintanya pupus, dendam tersimpan terus.

“Ujung-ujungnya main Tinder juga dia,” ucapnya.

Sebagai orang yang sama-sama bermain Tinder, saya membela si wanita yang kebetulan juga teman saya juga. Tinder sudah terlanjur basah dianggap sebagai aplikasi pencari jodoh, tempatnya orang-orang yang tidak ‘laku’.

Padahal orang yang main tinder gak melulu mencari pacar/jodoh; ada yang mencari teman hangout & curhat, menawarkan asuransi & dagangan, partner bisnis, sampai menjajakan diri dan teman tidur atas dasar suka sama suka.

Kebetulan saya sudah pernah menjumpai hampir semua tipe orang-orang di Tinder kecuali tipe yang menjajakan asuransi dan menjajakan diri. Mereka, kau tahu, sudah saya blacklist sejak modus operandinya terendus di foto profil.

Meski memiliki berbagai motif dan tujuan yang berbeda, pada dasarnya alasan mendasar dan paling sering saya temui orang main Tinder (khususnya di kawasan urban) cuman satu: kesepian.

Berbagi sepi di Tinder

Berbagi sepi di Tinder | www.timeout.com

“Besok ke Bandung yuk?” ajaknya.

Mata saya kosong melompong menatap layar smartphone. Belum satu jam kami match (istilah untuk saling menyukai di Tinder) tiba-tiba wanita asing di Tinder itu mengajak saya pergi ke Bandung. Kami sama-sama tinggal di Jakarta dan belum pernah bertemu.

“Boleh. Tapi sebelum ke Bandung, kita ketemu dulu. Bagaimana?”

Wanita asing itu mengiyakan dan akhirnya kami bertemu di Mall Kasablanka (Kokas), Tebet, Jakarta Selatan, setelah dua hari mengobrol intens di Tinder. Namanya sebut saja Theresia (25), bekerja sebagai digital marketing di salah satu agency ternama.

Kami cepat akrab karena sama-sama suka menggerutu, tak suka diatur, menyukai sastra dan kebetulan saya juga menulis puisi. Dari obrolan selama hampir 3 jam, akhirnya saya tahu jika Theresia mengidap bipolar. Dia sudah beberapa bulan putus obat dan terkadang moodnya tak terkontrol.

“Kalau mood lagi kacau, gue bakal pergi ke Kineruku di Bandung pas tanggal merah. Biasanya gue pergi sendirian,” ujarnya dengan mata menelisik.

“Terus kenapa sekarang ngajak gue?”

Dia terdiam sejenak dan mencari jawaban paling logis yang bisa saya terima. “Kayaknya gue emang lagi kesepian, jadi butuh temen.”

“Oke.”

Setelah pertemuan itu, kami menghabiskan waktu di Bandung selama dua malam. Kami saling bertukar sepi dan melakukan berbagai hal yang menjadi alasan orang-orang untuk tetap hidup, meski derita meresap ke tulang sumsum. Itu merupakan salah satu kencan paling berkesan dan setelah itu kami tak bertemu lagi.

Baca juga: Jauh-Jauh Temui Pasangan Tinder-nya, Perjalanan Wanita Ini Malah Berakhir Tragis.

Kesepian tak pandang bulu

Kesepian tak pandang bulu | www.cocospy.com

Kesepian memang tidak pandang bulu dan gak melulu menghinggapi orang yang masih single saja. Tak jarang saya menjumpai orang yang sudah menikah dan menyempatkan diri bermain dating app di sela kesibukan, tanpa sepengetahuan pasangannya.

Ada pula pasangan yang menerapkan hubungan open-relationship alias non-monogami, sehingga mereka boleh mencari pasangan lain atas persetujuan kedua belah pihak. Jenis hubungan open-relationship alias non-monogami cukup populer di dating app.

Kembali ke topik, saya selalu bertanya kepada wanita yang main Tinder meski sudah punya pasangan, “Bagaimana respon pasangan kalau tahu lu main dating app?

“Pasti marahlah,” jawaban mereka umumnya seragam.

“Trus kalau tahu begitu kenapa masih main?”

Salah satu jawaban yang masih saya ingat, “Sejak gue nikah, kehidupan gue gini-gini aja dan susah buat bersosialisasi. Makanya gue main Tinder.”

“Kalau situasinya dibalik. Suami lu main Tinder, lu bakal marah gak?” tanya saya penasaran.

Si wanita yang saya tanya terdiam agak lama. “Kalau sejak awal kita udah terbuka dan sama-sama main Tinder, tentu gak bakalan marah. Masalahnya dia gak bisa begitu, dan gue gak masalah juga kalau dia main Tinder.”

Seperti dikutip dari Kumparan, membuat akun di aplikasi kencan online bagi orang yang sudah punya pasangan termasuk selingkuh dalam kategori micro-cheating. Menurut Douglas Weiss, Ph.D, psikolog asal Amerika Serikat, tindakan ini bisa memicu interaksi yang membahayakan hubungan.

“Jika pasangan berada dalam hubungan yang bahagia, kenapa harus membuat akun di dating App? Tindakan ini sungguh beresiko karena dapat melibatkan emosi hingga fisik di luar hubungan,” ujar Douglas.

Hal inilah memicu saya untuk membuat kesepakatan dengan calon pasangan kelak. Jika sudah berkomitmen dengan seseorang, tentu kita harus menanggalkan semua akun dating app yang dimiliki. Sepakat?

Baca juga: Niatnya Cari Jodoh Lewat Tinder, Wanita Ini Tak Hanya Mendapat Pasangan, Tapi Juga Pendonor Ginjal untuk Dirinya!

Mencari jodoh di Tinder. Mengapa tidak?

Secara garis besar, pengguna aktif dating app didominasi oleh orang-orang di usia produktif yakni 18-35. Generasi 90-an yang telah menginjak usia 25-30 tahun berada di fase untuk mencari pasangan, salah satunya melalui Tinder.

Terdapat pula kategori umur di atas 30 tahun yang menggantungkan Tinder sebagai tempat mencari pasangan meski jumlahnya tidak sebanyak usia 25-30 tahun.

Kawan saya, sebut saja Mike (28), yang punya kepribadian kuat dan menjadi daya magnet bagi orang-orang di sekitarnya, juga mendapatkan pasangan dari Tinder. Saya pikir orang sepertinya mudah saja mendapatkan pasangan tanpa bantuan dating app. Ternyata dia harus menginstal Tinder untuk menemukan pasangan yang dicarinya.

Sebagai manusia bergengsi tinggi, tentu dia tidak akan mengakui hal ini di depan saya. Saya tahunya juga dari karibnya yang sudah hafal luar-dalam dirinya.

Saya pun pernah mendapatkan pacar dari dating app meski kami tidak terlalu lama berpacaran. Selain beda agama, kami memutuskan berpisah karena berbeda prinsip: mantan saya pro LGBT, sedangkan saya kontra. Selain itu terdapat berbagai perbedaan yang membuat hubungan kami sebaiknya memang sebatas teman belaka.

Apakah dari kasus di atas membuat saya kapok? Tentu tidak, karena justru saya mendapatkan banyak pelajaran soal relationship dari dating app. Saya kerap mendapat insight dari orang-orang baru putus dari pasangannya dan kami saling memberikan feed-back terkait masing-masing permasalahan. Setiap pertemuan dengan orang baru, memberi kita pengalaman dan solusi baru, bukan?

Baca juga: Inspiratif! Dihina Pria di Tinder, Wanita Ini Bertransformasi Jadi Model Cantik.

Masih malu main Tinder?

Masih malu main Tinder? | swipelife.tinder.com

Tak bisa dipungkiri, Tinder atau dating app lainnya menjadi fenomena global layaknya media sosial lain seperti Facebook, Twitter, etc. Hanya saja aplikasi yang satu ini memang didukung beragam fitur untuk mencari pasangan maupun teman untuk jarak 150 km (fitur gratis) maupun ke luar kota hingga luar negeri (Tinder Gold).

Sepengalaman saya mengobrol dengan generasi yang lahir di pengujung 90-an hingga awal 2000-an, mereka cenderung lebih terbuka soal pengalamannya bermain Tinder dibanding generasi 80-an hingga awal 90-an.

“Gue sengaja gak menampilkan muka secara utuh, malu ketahuan temen kantor,“ ucap Ellia (29) yang mengaku menggunakan nama anonim.

Wanita berjilbab yang suka ikut kajian keislaman itu tentu tak bisa membayangkan bagaimana jika orang sekantornya tahu dirinya main dating app. Apalagi dirinya memang tidak berniat mencari jodoh di Tinder, just for fun.

Lain dengan Ellia, Rotua (25) malah tidak canggung untuk menceritakan pengalaman bermain Tinder kepada teman-temannya. Lewat Tinder, ia bertemu teman baru untuk hangout atau sekedar menonton film bioskop yang baru tayang, salah satunya dengan saya.

“Gue sering dapat shift malam dan weekend masih juga kerja. Kebayang dong bagamana monotonnya hidup gue tanpa dating app?” keluhnya saat saya menanyakan alasannya main dating app.

Baca juga: 11 Orang Ini Berbagi Pengalamannya Saat Gunakan Tinder, Ceritanya Aneh-aneh!

Artikel Lainnya

Tinder atau dating app memang rimba maya tempat semua jenis manusia berada. Semua interaksi yang dibutuhkan manusia tersedia di sana, dari yang hanya bersifat afektif, sampai sentuhan erotis.

Lewat Tinder pula, saya mendapatkan berbagai macam ide menulis puisi setelah menyerap berbagai curhatan manusia urban tercabik-cabik kesepian:

Kesepian mempercepat kematian.

Kita tak ubahnya hantu kesepian

Keluyuran mencari penawar kesendirian

Pada sloki Martini dan anti-depresan.

Jadi, masih malu main Tinder?

Tags :