Sejarah Guillotine, Alat Pencabut Nyawa Manusia di Zaman Dahulu
14 Juni 2021 by Muhammad Sidiq PermadiMembayangkan Guillotine saja sudah ngeri!
Sebenarnya sekarang ini masih cukup banyak negara-negara dunia yang memperlakukan hukuman mati kepada para tahanan, khususnya dengan kasus pelanggaran berat. Meski menimbulkan polemik serta tentangan dari berbagai negara, namun hukuman tersebut tetap diberlakukan. Misalnya saja di Negara Filipina, Arab Saudi, serta negara-negara lainnya.
Pemerintah setempat enggan menerima kritik atas kebijakan tersebut agar para penjahat tidak bisa semena-mena bertindak kejahatan di dalam kehidupan bermasyarakat. Salah satu metode hukuman mati yang sempat sangat populer meski menuai pro dan kontra adalah eksekusi hukuman mati dengan menggunakan Guillotine.
Apa itu Guillotine? Seperti apa sejarah dan cara pakai dari alat pencabut nyawa ini? Berikut ini ulasan singkatnya untuk kamu semua!
Apa itu guillotine?
Guillotine adalah sebutan untuk alat pemenggal leher yang berasal dari Negara Prancis. Alat ini pada dasarnya berupa pisau raksasa yang digantung dan dihubungkan oleh kabel serta tiang kayu.
Ketika akan digunakan untuk mengeksekusi terpidana mati, pisau raksasa tadi akan ditarik ke atas. Terpidana mati akan dibiarkan untuk tiduran di bawahnya dengan cara telungkup.
Setelah aba-aba dimulai, pisau raksasa itu akan dilepas dan dengan segera menghujam ke bawah, membelah kepala dan tubuh dari sang terpidana mati. Keunikan dari alat ini adalah cara kerjanya yang cepat dan mematikan.
Baca juga: Deretan Misteri Perang Dunia II yang Belum Terkuak
Pencipta guillotine
Alat pencabut nyawa ini merupakan buah karya dari seseorang bernama Joseph Ignace Guillotin. Uniknya, Joseph yang berprofesi sebagai pakar kesehatan Prancis ini sebenarnya merupakan sosok yang tegas menentang adanya hukuman mati.
Namun, karena gagal meyakinkan otoritas Perancis untuk segera melarang praktik hukuman mati, ia pun lantas memikirkan cara agar mereka yang beri hukuman mati tidak akan merasakan siksaan serta rasa sakit yang berkepanjangan hingga akhirnya tercetuslah untuk membuat alat ini.
Sejak tahun 1791, Dewan Perancis pun menetapkanĀ Guillotine sebagai satu-satunya alat yang diperbolehkan untuk mengeksekusi para terpidana hukuman mati setelah sebelumnya para terpidana dieksekusi dengan menggunakan pedang atau kapak.
Awal mula pembuatan guillotine
Pada awalnya, upaya Guillotin untuk menciptakan alat ini tidak berjalan mulus. Pasalnya banyak dari tukang kayu yang diminta untuk membantunya menolak lantaran takut nama mereka kelak diidentikan sebagai pencipta alat pencabut nyawa manusia.
Akhirnya muncullah seorang pengrajin asal Jerman yang bernama Tobias Schmidt yang bersedia untuk membantu Guillotin dengan syarat namanya tidak disangkut-pautkan dengan alat tersebut. Sebagai gantinya, alat itu pun dinamakan dengan Guillotine.
Pada tahun 1814, Guillotin meninggal dunia di usianya yang ke-75 tahun. Karena nama belakangnya sudah identik dengan alat pencabut nyawa manusia tersebut, keluarga Guillotin merasa malu sehingga mereka melobi pemerintah Prancis untuk mengganti nama dari alat tersebut. S
ayangnya permintaan mereka ditolak sehingga mereka pun kemudian beramai-ramai mengganti nama mereka sendiri agar tidak lagi disangkut-pautkan dengan alat mengerikan ini.
Di Negara Prancis, periode 1970-an menjadi periode yang paling mencekam. Pasalnya begitu banyak orang yang dijatuhi hukuman mati karena dituduh telah mengganggu ketertiban dan menentang berbagai kebijakan pemerintah.
Saking banyaknya orang yang dieksekusi, periode ini dikenal pula dengan sebutan Pemerintahan Teror (Reign of Terror). Salah satu yang jadi pusat perhatian tentu saja penggunaan Guillotine.
Korban pertama dari alat pencabut nyawa ini bernama Nicola-Jacques Pelletier. Ia dijatuhi hukuman mati pada tanggal 25 April 1792 atas tuduhan perampokan dan pembunuhan. Agar memberikan efek jera, maka eksekusi mati Pelletier dilakukan di tengah-tengah kerumunan masyarakat.
Alih-alih merasa takut, para penonton yang datang langsung ke tempat eksekusi malah beramai-ramai menyampaikan kekecewaannya. Pasalnya menurut mereka, peristiwa pemenggalan kepala Pelletier berlangsung terlalu cepat dan kurang bersimbah darah. Meski demikian, metode hukuman mati ini tetap diberlakukan hingga meluas ke se-antero Prancis.
Penggunaan Guillotine sebagai alat eksekusi mati nyatanya memiliki sisi positif. Selain dapat mengurangi penderitaan dari para terpidana hukuman mati, para algojo hukuman mati pun merasa terbantu karena dapat menjalankan tugasnya dengan sangat cepat. Dengan menggunakan Guillotine, seorang algojo mampu membunuh 12 orang sekaligus hanya dalam waktu 13 menit.
Baca juga: 4 Permainan Pemanggil Setan Terpopuler di Dunia. Berani Coba?
Jadi alat untuk mempelajari tubuh manusia
Ternyata alat yang satu ini juga dimanfaatkan oleh para ilmuwan untuk mempelajari tentang mekanisme tubuh manusia sesaat setelah meninggal dunia. Hal itu dimulai sejak peristiwa yang terjadi pada tahun 1793.
Pada saat itu, seorang dokter menepuk kepala dari koban Guillotine yang sudah terpisah dari badannya. Ketika itu pula para penonton mengaku melihat ekspresi wajah korban yang sempat berubah.
Salah seorang dokter yang mendalami hal ini bernama Dassy de Lignieres. Bahkan, Dassy nekat untuk membawa pulang kepala seorang korban Guillotine dan memompanya dengan darah agar kepala tersebut bisa hidup dan berbicara kembali.
Pada akhirnya para peneliti menyimpulkan bahwa manusia akan benar-benar mengalami kematian jika jantung dan otaknya telah berhenti bekerja sepenuhnya.
Itu dia ulasan tentang alat pencabut nyawa yang bernama Guillotine. Kalau ngebayangin kepala kita ditebas dengan menggunakan alat ini, sangat mengerikan ya!