Kesultanan Yogyakarta Tuntut Inggris Kembalikan 50 Ribu Ton Emas Rampasan!

ilustrasi emas | kompas.com

Rampasan tersebut terjadi usai Perang Sepehi!

Tidak bisa dipungkiri, jejak penjajah bangsa Eropa selama era kolonialisme sejatinya meninggalkan luka yang mendalam, bagaimana tidak, pada era tersebut banyak sekali kerugian materi dan non-materi yang ditanggung oleh bangsa yang dulunya merupakan cikal bakal Republik Indonesia.

Salah satunya seperti yang dilakukan trah Raja Keraton Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono (HB) II yang kini menuntut permintaan maaf dan pengembalian harga rampasan selama Perang Sepehi dari negeri Ratu Elizabeth tersebut.

Tuntutan ini disuarakan sebenarnya untuk meluruskan fakta terkait Perang Sepehi yang terjadi pada Juni 1812, serta mengembalikan harta rampasan sebanyak 57.000 ton emas yang dirampas dari Keraton Yogyakarta.

Inisiatif ini muncul lantaran trah Raja Yogyakarta Sultan Hamengkubuwono II, tengah mengajukan nama sang sultan sebagai pahlawan nasional kepada pemerintah Indonesia. Menurut keluarga, perang atau geger Sepehi sebenarnya bukti kongkrit Sultan HB II merupakan pejuang antikolonial.

Sebagai bukti, kini keluarga kerajaan Inggris sebagai pemenang perang meminta maaf atas dosa masa silam serta mengembalikan kekayaan keraton yang telah dirampas, yakni 57 ribu ton emas.

Kami mengharapkan harta dan benda bersejarah yang dijarah tentara Inggris pada Perang Sepehi tahun 1812 untuk dikembalikan. Barang-barang tersebut merupakan salah satu bagian dari milik Keraton Yogyakarta di masa Raja Sri Sultan Hamengkubuwono II, Sekretaris Pengusul Pahlawan Nasional Sri Sultan HB II Fajar Bagoes Poetranto mengatakan di Jakarta, Selasa (21/7), dikutip Pikiran Rakyat. Bahkan perhiasan yang dipakai Sri Sultan HB II pada saat itu juga ikut dirampas, kata Fajar lagi.

Baca juga : 10 Fakta tentang Yogyakarta Ini Pasti Belum Pernah Kalian Dengar Sebelumnya

ilustrasi perang Sepehi | pikiran-rakyat.com

Fakta Perang Geger Sepehi

Perang Geger Sepehi, kadang dieja Spei atau Sepoy, dipicu dari kebangkrutan perusahaan dagang VOC pada 1799 yang berimbas pada pemindahaan pusat penguasaan Hindia-Belanda ke Republik Batavia.

Di masa ini, Herman Willem Daendels dikirim ke Jawa untuk menjadi gubernur jenderal selama 1808-1811. Tak hanya mengadakan proyek kerja paksa Jalan Raya Pos Anyer-Panarukan, Daendels juga makin dalam mengurangi kekuasaan raja-raja Jawa.

Adalah Hamengkubuwono II yang saat itu membangkang kepada sang Tuan Besar Deandels, ditambah lagi pengalaman pahit masa kecilnya saat bagaimana Kesultanan Mataram dibelah jadi dua menjadi Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta lewat Perjanjian Giyanti 1755. Daendels kemudian menjegal sang sultan pada 1810 dan menobatkan putranya yang lebih kalem, Pangeran Surojo, sebagai Sultan Hamengkubuwono III.

Keberhasilan Inggris mengalahkan Republik Batavia, secara tidak langsung turut menyulut keinginan HB II untuk kembali berkuasa, namun niatan tersebut pupus manakala usahanya duduk menjadi penguasan Jawa digagalkan oleh Letnan Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles (berkuasa 1811-1816). Ditambah lagi pada 17-20 Juni 1811, pasukan penyerang yang berjumlah seribu tentara Inggris asal Sepoy (India), dan tentara Mangkunegaran (dari Kadipaten Mangkunegaran, Surakarta) berhasil menjebol benteng Keraton Yogyakarta dan menjarah kekayaannya. Inilah yang kemudian dinamai sebagai Perang atau Geger Sepehi.

Usai Keraton Yogyakarta ditaklukkan, konon para pemenang perang membutuhkan waktu empat hari dihabiskan untuk memboyong ribuan naskah, keris, alat musik, dan bermacam perhiasan bernilai 120 juta dolar AS.

Imbas perang ini pula turut mengubah tatanan Kesultanan Yogyakarta, HB II diasingkan ke Penang (Malaysia), dan dilanjutkan dengan menandatangani perjanjian yang berisi, pertama perintah pengurangan kekuatan militer, kedua pemangkasan wilayah kekuasaan, dan tiga penggantian hukum Jawa-Islam ke hukum kolonial.

Baca juga : 10 Tempat [PALING ANGKER] di YOGYAKARTA

ilustrasi Ratu Elizabeth | kompas.com

Artikel Lainnya

Dilansir dari vice.com, Jum'at (7/8/20), kekalahan besar tersebut turut memicu perang besar lainnya yakni Perang Diponegoro.

Kebijakan-kebijakan tersebut membuat pergolakan besar dalam masyarakat Jawa. Ketidakpuasan dan rasa kekecewaaan inilah yang kemudian menjadi salah satu pemicu Perang Jawa (1825-1830), demikian keterangan di web.

Dalam acara peringatan 30 tahun tahta Sultan HB X Maret tahun lalu, tapi Perang Sepehi menjadi topik simposium internasional, belakangan beberapa nashkah telah dikembalikan kepada Kesultanan Yogyakarta, namun pihak trah kerajaan tetap bersikeras menuntut pengembalian barang asli.

Yang dikembalikan itu hanya berupa hasil digital untuk benda dan manuskripnya. Pengembalian aset-aset manuskrip pernah dilakukan pada masa Pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri dengan 70 manuskrip dan diserahkan ke Keraton Yogya dalam bentuk digital, kata jubir Pengusul Pahlawan Nasional Sri Sultan HB II Abdul Haris, 2 Juli lalu.

Tags :