Inilah Pengakuan Petani yang Tinggalkan Budidaya Ganja di Aceh. Dulu Foya-foya, Kini Melarat!
07 Januari 2021 by IdhamTanaman ganja yang dibudidayakan di Aceh
Budidaya marijuana atau yang lebih dikenal dengan sebutan ganja, di dataran Aceh sudah menjadi rahasia umum yang diketahui sebagian besar masyarakat di Indonesia. Aceh dikenal sebagai dataran penghasil ganja terbesar di Indonesia sejak pemerintah Hindia-Belanda membawa varietas ganja dari India ke Kerajaan Aceh pada abad ke-19 (Sumber: VICE).
Walaupun sudah kerap dilakukan pemberantasan, budidaya marijuana di provinsi Serambi Mekah itu terus berlangsung hingga saat ini.
Meskipun budidaya marijuana bisa menjadi bisnis yang menggiurkan karena harganya yang tinggi, bukan berarti semua orang bisa betah menjalaninya.
Samsuar (bukan nama asli), adalah salah seorang mantan petani yang sudah meninggalkan budidaya ganja sebagai penghidupannya. Dia mengaku bahwa dulu dia tergiur oleh ajakan pemuda-pemuda setempat untuk berbisnis ganja karena permintaannya yang sangat tinggi.
Dia dikenalkan dengan seorang bandar yang membeli hasil panennya setiap enam bulan sekali. Sebagai komoditas yang bisa dijual dengan harga tinggi, ganja menjadi sumber penghidupan Samsuar, dan dia sempat menikmati kekayaan berlimpah dari budidaya yang dilakukan bersama rekan-rekannya itu.
Akan tetapi, sejak semangat nasionalisme Aceh yang dimanifestasikan dalam Gerakan Aceh Merdeka mulai berkobar, Samsuar terpaksa harus kehilangan lahan pencahariannya karena wilayah-wilayah yang menjadi lokasi strategis untuk menanam ganja menjadi zona konflik pada saat itu.
Alhasil, Samsuar yang dulunya bisa hidup foya-foya, harus jatuh ke dalam jurang kemiskinan dan terpaksa membanting setir menjadi buruh kebun biasa. Lantas, Samsuar pun berpikir bahwa hidupnya yang terjerat kesulitan itu merupakan dampak dari budidaya barang haram yang dilakukannya di masa lalu.
“Kalau saya lakukan ganja lagi, ditangkap dan masuk penjara, anak saya seperti apa?” ujar Samsuar kepada VICE.
Saat ini, Samsuar harus ikhlas menjalani hidup dengan upah 20 ribu rupiah setiap harinya, nilai yang sangat jauh jika dibandingkan saat dia masih menjadi petani ganja. Dulu, dia bisa mendapatkan uang sejumlah 15 juta rupiah setiap masa panen.
Berbeda dengan Samsuar yang menginsyafi perbuatannya karena mempertimbangkan norma agama, Alamsyah (juga bukan nama asli) memilih untuk berhenti karena ditipu. Seorang bandar memberinya modal sebesar 5 juta rupiah untuk membudidayakan ganja, dan Alamsyah berhasil mendapatkan lahan dan memanen ganja seberat 500 kilogram dari hasil budidaya yang dilakukannya.
Sialnya, bandar yang menyuapinya dengan janji-janji manis malah menghilang begitu saja. Dia bukan berhenti karena takut terjerat hukum, melainkan karena kapok ditipu. Pasalnya, dia tahu betul bahwa budidaya ganja di Aceh masih menjadi hal yang lumrah, tapi saat ini, dia lebih memilih untuk menjadi petani padi saja.