Tunggak SPP, Siswi SD ini Ngaku Dihukum Kepala Sekolahnya Push Up 100 Kali Sampai Takut ke Sekolah!
29 Januari 2019 by MoseslazSiswi berumur 10 tahun tersebut sampai trauma ke sekolah dan sakit perut
Seorang siswi di Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) Bina Mujtama di Bogor, Jawa Barat mengaku mendapatkan hukuman akibat menunggak pembayaan uang sumbangan pembinaan pendidikan (SPP). Siswi yang masih berusia 10 tahun ini menceritakan hukuman yang didapatnya leh kepala sekolahnya. Minggu lalu saat siswi yang memiliki inisial GNS ini sedang mengikuti kegiatan pembelajaran tiba-tiba ia dipanggil ke ruang kepala sekolah.
Saat menghadap itulah GNS mengaku disuruh untuk push up sebanyak 100 kali. Dilansir melalui Kompas.com, GNS mengaku disuruh kepala sekolahnya untuk push up, karena belum membayar SPP, GNS juga belum diberi kartu ujian dengan alasan yang sama.
"Yang nyuruh kepala sekolah. Katanya belum dapat kartu ujian soalnya belum bayaran," ucap GNS dengan mata berkaca-kaca (Kompas.com)
Sejak mendapatkan hukuman push up 100 kali itu, GNS takut dan tidak mau lagi untuk bersekolah di SDIT Bina Mujtama.
“Takut (ke sekolah lagi). Takut disuruh push up,” ucap GNS di rumahnya di Depok, Jawa Barat.
Selain mengalami trauma, GNS juga mengaku setelah melakukan hukuman push up tersebut perutnya langsung merasa sakit. Hukuman tersebut juga bukan yang pertama kali diterimanya, sudah dua kali ini ia dihukum push up. Selain itu bukan hanya dia yang dihukum dengan cara yang sama, tapi ada siswa lain yang juga dihukum push up sama seperti GNS.
"Pernah lagi waktu itu dihukum push up, tetapi cuma disuruh 10 kali. Dari kelas aku ada dua orang lagi yang disuruh push up," ucap GNS.
Saat dimintai keterangan, Kepala Sekolah SDIT Bina Mujtama, Budi mengatakan bahwa hukuman push up yang diberinya untuk murid yang menunggak SPP adalah sebagai bentuk shock therapy. Namun sang Kepala Sekolah membantah pengakuan GNS yang mengatakan dihukum push up sebanyak 100 kali, ia hanya menyuruh push up sebanyak 10 kali.
“Oh enggak, jadi hanya shock therapy, memang kami lakukan (hukuman push up) tapi tidak sampai sebanyak itu, hanya 10 kali,” ujar Budi.
Menurut Budi, kronologi awalnya saat pihak sekolah memanggil GNS untuk mengobrol soal tunggakan uang sekolahnya yang belum dilunasi orangtuanya selama sudah 10 bulan. Baru setelahnya GNS diberi hukuman push up, menurut keterangan Budi hukuman tersebut diberikan agar orangtua GNS mau datang ke sekolah.
“Itu waktu kami panggil orangtuanya tidak datang berkali-kali. Jadi kami sampaikan ke GNS kalau bisa orangtuanya panggil datang ke sekolah, kami katakan seperti itu," tutur Budi.
Kejadian ini menarik simpati dan menjadi sorotan publik termasuk Pemerintah Kota Depok. Wakil Wli Kota Depok Pradi Supriatna dan pihaknya mengaku akan menelusuri permasalahan ini. Salah satunya adalah penyebab orangtua GNS yang tidak mampu melunasi SPP selama 10 bulan.
“Kami akan telusuri tunggakan SPP ini, apakah karena betul-betul belum sejahtera atau ada alasan lain,” ujar Pradi
Selain penelusuran, langkah lain yang akan diambil Pradi Supriatna adalah memindahkan GNS ke sekolah lain di Depok. Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bidang Pendidikan, Retno Listyarti ikut angkat bicara soal kasus ini. Ia menilai kasus ini termasuk merupakan kekerasan terhadap anak. Juga berpotensi kuat melanggar Pasal 76C Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
Tindakan kepala sekolah tersebut bisa dikategorikan sebagai kekerasan psikis karena membuat kondisis GNS tertekan dan merasa direndahkan, dipermalukan di lingkungan sekolah. Menurut Retno anak harus tetap mendapatkan haknya atas pendidikan, seperti mengikuti kegiatan pembelajaran dan ujian.
“Jadi kalau orangtua belum melunasi SPP, maka itu bukan salah si anak, tetapi itu kewajiban orangtuanya. Yang harus dipanggil, ditegur, dan disurati pihak sekolah adalah orangtuanya,” ujar Retno.
Kasus ini seharusnya memang tidak terjadi, bukan salah sang anak ia belum melunasi SPPnya. Jangan jadikan anak atau siswa-siswi sebagai yang paling bertanggung jawab atas biaya sekolahnya. Sehingga tak aka nada lagi kejadian seperti ini yang membuat anak trauma untuk sekolah.